BERAMAL LEWAT TULISAN

Sunday 29 December 2013

YANGON, JAKARTA TAHUN 70 an (Burma - 2)

                                                       
Yangon, adalah bekas ibukota negara Myanmar yang berakhir pada tahun 2005. Sejak itu, ibukota negara dipindahkan ke daerah yang berada lebih di tengah daratan Myanmar, Nay Pyi Taw namanya.


Sebagai bekas sebuah ibukota negara, Yangon masih sangat terasa sebagai ibukota daripada ibukota baru Nay Pyi Taw. Beberapa kedutaan besar pun masih banyak yang berada di Yangon termasuk kantor-kantor besar juga masih ada di sini.

Yangon memang unik bentuk phisik dan mobilitas penghuninya. Keunikan ini diantaranya terjadi karena negeri ini lama dikucilkan oleh dunia internasional. Hampir semua sektor jauh dari keadaan modern. Baru belakangan ini saja sudah mulai ada perubahan karena dunia internasional telah membuka diri untuk Myanmar. Apapun kondisinya, Yangon sampai saat ini masih sangat kental terasa keunikannya. Mari kita saksikan bersama.

NIKMATI KEUNIKAN YANGON

Hampir di seluruh penjuru kota Yangon terdapat pagoda yang besar maupun kecil. Disamping  itu juga terdapat  beberapa  masjid, klenteng dan gereja peninggalan masa lalu yang masih berfungsi baik sampai saat ini.

Itu semua menandakan bahwa masyarakat Yangon sangat religius menjalankan agamanya masing-masing. Penduduk Yangon masih sangat menjaga dan berusaha mempertahankan budaya bangsanya. Sebagai contoh, kaum lelaki dan perempuannya ke mana-mana memakai kain panjang yang disebut longyi.


Gedung dan bangunan di dalam kota tidak ada yang terlalu menjulang tinggi seperti gedung-gedung di negara lain. Malah masih sangat banyak bangunan yang bergaya lama atau berarsitektur peninggalan kolonial Britania Raya.

Kebiasaan kaum lelakinya makan sirih (bida) dan kaum perempuannya memakai bedak dingin terlihat di sudut-sudut kota. Moda transportasinya bus kota misalnya masih banyak yang kuno seperti angkutan di Jakarta tahun 70 an. Becak kayuh penumpangnya ada di samping yang menghadap ke depan dan ke belakang. Mobil-mobil stirnya ada di kanan dan berjalan di jalur kanan. Listrik masih suka padam. Angkutan umum plat nomornya berwarna merah termasuk taksi dan bus. Taksi hampir 90% tidak pakai argo walau ada argonya. jumlah taksi lebih banyak dari mobil pribadi.


Di Yangon tidak ada sepeda motor, karena dilarang masuk kota. Pemandangan ini sangat berbeda dibandingkan dengan Vietnam atau Indonesia.

Walaupun kondisi negara dan masyarakatnya masih berada jauh di bawah Indonesia, boleh percaya atau tidak, hampir tidak ada pengemis dan pengamen di seluruh negeri. Pengen .... 

Yangon cukup padat penduduknya. Kota ini ciri-cirinya hampir sama dengan Old Delhi atau Jakarta, orang ada di mana-mana. Padat ... Bus selalu penuh dan banyak penumpang yang harus berdiri. Wajah-wajah orang Myanmar hampir tidak bisa dibedakan dengan wajah orang Indonesia. 

Yang aku suka di Yangon adalah kehadiran taman-taman yang besar, hijau dan tertata rapi. Begitu juga dengan adanya danau di tengah kota dan trotoar yang cukup besar untuk pejalan kaki membuat sedikit betah tinggal di sini. Bahkan di beberapa tempat terdapat NO PLASTIC BAG ZONE. Hal yang menghambat bagi para pelancong adalah faktor bahasa dan tulisan yang hampir 100% menggunakan Bahasa Burma. Sangat sedikit sekali penduduknya yang bisa berbahasa Inggeris.

Kalau perlu telepon umum swasta, sangat banyak di Yangon. Hampir di semua sudut kota ada layanan telepon semacam ini. Kalau untuk hubungan internasional biasanya mereka lebih suka memilih lewat warnet. Produk-produk China, Korea dan Jepang banyak membanjiri seluruh isi kota. Katanya, negeri ini 'diembargo' dan dikucilkan dunia internasional. Tapi yang aku lihat semua sektor berjalan normal, bahkan negeri ini jauh dari kontaminasi asing dan hidup aman dan tenteram.


Alam yang masih natural, jauh dari kontaminasi asing, kejujuran dan ketulusan masyarakat Myanmar, hal inilah yang menjadi magnet turis mancanegara mau berkunjung ke negeri ini. Namun yang menjadi masalah adalah Visa, sesama anggota ASEAN saja masih harus pake Visa (hanya 28 hari) saja. Kalau saja sudah bebas Visa, bukan tidak mungkin Myanmar bakal dibanjiri wisatawan dan akan menyaingi negara-negara tetangganya. 
    
Kabel listrik dan telepon instalasinya sangat semrawut, ATM dan penggunaan credit card masih sedikit, wifi dan warnet juga masih sangat terbatas. Untuk bertransaksi sehari-hari pakai uang Kyats (baca : chets) atau secara terbatas bisa pakai US $. Kyats, kadang-kadang hanya ditulis Ks saja. Kalau bawa uang ke Myanmar harus yang mulus tanpa lipatan atau coretan, karena money changer akan menolaknya. 


Uang kertas Kyat yang aku tau terkecil adalah 50, 100, 200, 500, 1000 dan yang terbesar 5000 Kyats. 1 Kyat setara dengan 12 Rupiah. Tidak hanya US$ yang harus mulus, uang Kyat juga kalau tidak terlalu mulus kadang-kadang ditolak. Hati-hati menerima uang kembalian, biasanya diberi yang tidak mulus. Jangan diam atau segan meminta tukar dengan uang yang lebih bagus.Itulah keunikan yang umum ada di Yangon. Selanjutnya aku akan cari keunikan lainnya satu demi satu.

MAKANANANNYA

Makanan yang disukai adalah yang hangat atau panas. Aneka makanan dijual di kedai atau restoran, banyak juga yang dijual di KQ5. Yang lebih unik adalah yang ada di trotoar jalan. Menggunakan meja-meja dan kursi pendek. Yang macam beginian banyak tersebar seantero kota Yangon, terutama di hari menjelang gelap suasananya tambah ramai seperti pasar malam.


Suka makan dan minum teh atau minum beer adalah pekerjaan yang sering dilakukan masyarakatnya. Tapi anehnya baik perempuan dan kaum lelakinya semua langsing-langsing. Katanya, ntah betul atau tidak, karena mereka juga kuat nahan lapar. Masak iya sih begitu, jadi penasaran.

Menurut informasi, gaji UMR para pekerjanya hanya di kisaran 500 ribu rupiah saja. Uang segitu tentu ga bakalan cukup untuk sebulan. Makanya perempuan dan lelakinya selalu membawa rantang stainless kecil bersusun tiga sebagai bekal di tempat kerja. Ada juga yang rantangnya dimasukkan ke dalam tas plastik dengan bentuk yang hampir sama semuanya. Di dalam tas tersebut berisi lengkap makanan, minuman dan segala peralatannya.

Salah satu makanan favoritnya adalah menyerupai soto yang terdiri dari daging, babat, usus dan potongan daging yang ditusuk seperti sate, semua tersusun rapi di pinggiran panci besar berisi kuah panas mendidih. Itu adalah daging babi. Ada juga yang berupa soto ayam dengan berbagai campurannya. Masakan ala India juga banyak tersebar di mana-mana, seperti roti mariam, roti chanai, kari, capati, nasi biryani atau syurba. Berbagai makanan selain dijual di KQ5, di restoran dan cafe juga ada. Harganya bermacam-macam mulai 300 Kyats sampai yang beberapa ribu Kyats.

Sebagai contoh, nasi biryani tanpa ayam 700 Kyats (plus sambal, acar dan air dingin). Sedangkan dengan ayam 1700 Kyats. Roti capati lengkap dengan soup syurba kentang plus sambalnya harganya mulai 300 Kyats. Sebotol air mineral ukuran kecil 300 Kyats, yang lebih besar 400 Kyats. Juice milo, orange atau strawberry segelasnya 500 Kyats. Dan sepotong donat 500 Kyats. Satu sisir pisang 700 Kyats. Baby orange 1 Kg 1000 Kyats. Kalau makan di dalam restoran plus minum minimal 3500 Kyats. Secangir cofeemix atau kopi hitam berkisar 300 - 500 Kyats. Sebonggol jagung rebus 300 Kyats. Roti manis atau selai pisang per bungkus 1000 Kyats. Mie goreng biasa ala India per porsi besar 1000 Kyats, kalau plus ayam 1500 Kyats. 'Indomie' rebus dengan aneka sayur dan telur 1000 Kyats.


Kebiasaan bersama minum teh, kopi atau beer di kedai-kedai sangat banyak di Yangon. Hal seperti ini ada juga di Makassar atau Ambon. Beer yang paling populer di Myanmar merk-nya 'Grand Royal' atau 'Myanmar'.



MODA ANGKUTANNYA

Mobil pribadi banyak dipakai untuk aktivitas sehari-hari, merk-nya bermacam-macam. Bus kota ada yang lawas dan ada yang baru atau yang ber-AC. Taksi jumlahnya sangat banyak, mungkin melebihi dari mobil pribadi. Mobil dengan segala merk, semua dibuat sebagai taksi. Contohnya, seperti mobil mini buatan China QQ, Karimun sampai Harrier pun dibuat sebagai taksi. Semuanya tidak pakai argo tapi harus tawar-menawar, AC biasa tidak difungsikan dan kaca jendela dibuka lebar-lebar. Ada jenis angkutan lain seperti angkot yang beratap terpal atau truk mini juga dipakai sebagai angkutan umum. Apapun jenis angkutan umum, kalau tidak ada tempat duduk, banyak penumpang yang berdiri. Untuk perjalanan jarak jauh tersedia bus antar kota (semua tanpa toilet), Kereta Api atau pesawat udara.


Bus dalam kota, rata-rata taripnya 200 Kyats. Kalau duduk di samping sopir dan bawa barang taripnya 500 Kyats. Kalau naik angkot duduk di dekat sopir 300 Kyats, duduk biasa 200 Kyats dan berdiri 100 Kyats.Bus dilengkapi dengan nomor dan jurusan yang semuanya pakai bahasa Burma. Jadi aku harus hafalin warna dan tulisannya.


Ada satu moda angkutan lagi yang pernah aku coba, yaitu ferry untuk menyebrangi Sungai Yangon. Taripnya 100 Kyats, kalau orang asing sekitar 2000 Kyats. Nyebrangnya cuma 20 menitan.

Di luar kota Yangoon ojek juga ada, yang taripnya mulai 500 Kyats sampai dengan beberapa ribu Kyats. Ojek kelihatannya lebih mahal, sebab harga BBM berkisaran 10 ribu rupiah per liter.

Semua angkutan umum resmi, misalnya taksi, bus kota, bus malam dan truk plat nomornya berwarna MERAH.

PENGINAPANNYA

Sebagai traveler yang menyukai harga murah, aku sering memilih Guest House 'GH'. Kalau hotel pastilah taripnya lebih mahal dari GH, jadi aku kurang menarik untuk membahasnya.

Kelas GH cukup banyak tersebar di kota Yangon. GH pertama yang aku tiduri adalah Aung Si atau OCEAN PEARL 2, dekat YE GYAM Market. Berada di lantai 2 dan mempunyai 10 kamar. Di lantai pertama GH ini adalah mini market milik orang lain. Alamatnya, di sudut Bogyoke Street dan 49 Street atau tepatnya No 100, First Floor, Bogyoke Aung San Rd. Pazundaung Tsp, Yangon, Myanmar. Phone or Fax 95-1-299874     
Email :  aungsi49@gmail.com
Website : http://www.oceanpearlinn.comTaripnya 20 US$ untuk single dan 25 US$ double. Itu kamar private yang kamar mandinya di dalam, wifi-nya banter, ada jemputan gratis dari airport dan free breakfast (roti, telur, pisang dan coffee mix). Tapi lokasinya aku anggap masih kurang strategis.

Okinawa GH, dekat Sule Pagoda tepatnya di 32 Street No. 64, Pabedan Tsp, Yangon. Tel: 951-374318. Taripnya 15 US$, kasur di atas lantai kayu, kamar mandi luar, ada kelambunya untuk antisipasi nyamuk, wifi cukupan, free breakfast (roti, telur, pisang, semangka , coffee mix dan berbagai makanan utama yang berganti setiap hari). Nuansanya ala Jepang sesuai dengan namanya Okinawa, alas kaki pun harus dilepas. Ketika harus pindah GH dari Aung Si ke GH ini, barang kubawa dengan becak kayuh dan duduk di samping (1000 Kyats). 

Garden GH, ada di depan Sule Pagoda. Alamatnya No. 441-445, Mahabandoola Road, Pabedan Township, Yangon. Taripnya single 10 US$, kamar mandi di dalam, wifi banter, free breakfast (hanya roti dan coffee mix). Tarip double 22 US$.


Aku cukup lama stay di sini karena letaknya bener-bener sangat strategis. Bus, taksi, tempat makan, masjid, stasiun KA, agen bus antar kota, warnet dan segalanya ada di sekitar situ. Sehingga semua urusan menjadi sangat mudah. Yang terpenting adalah taripnya murah. Dari lantai atas GH ini dapat menyaksikan Sule Pagoda dengan sangat jelas. Begitu juga Masjid Sunni Bengali yang berada tepat di depan Sule Pagoda. 

Ada GH yang lebih mahal seperti May Shan, yang berada di depan Sule Pagoda. GH yang lain adalah Ocean Pearl Inn. GH yang lebih murah juga ada di dekat Sule, taripnya antara 6 - 10 US$ saja per malam, namun tempatnya sudah tua. Semua bagian bangunan terbuat dari kayu yang sudah tua dan berada di lantai 3 bercampur dengan penghuni lain yang tinggal di sekitarnya. Aku pernah bertemu dan berkenalan dengan seorang Jurnalis dari Harian The Global Post, Singapura. Dia pandai cakap (bicara) dalam bahasa Melayu.

  
KEMANA AJA DI YANGON

Aku mulai mencicil menikmati berbagai obyek wisata di sekitaran Yangon, sambil berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakatnya. Yang pertama adalah coba naik Circular Train, yaitu berkeliling Yangon dengan kereta api selama tiga jam, taripnya hanya 1 US$ atau 1200 Kyats. Naiknya dari Stasiun Kereta Api Yangon. Caranya tanya aja di mana letak loket tiket Circular Train. Setelah itu daftar, bayar dan tunggu KA datang. Aku berangkat yang pukul 10.45. Lumayan juga bisa naik KA keliling kota Yangon dan bisa berbaur dengan masyarakat Myanmar.

Cara mudah naik Circular Train adalah minta tolong kepada crew GH untuk menuliskan Circular Train dalam bahasa Burma pada secarik kertas. Kertas inilah yang akan kita pakai sebagai senjata untuk bertanya pada setiap orang yang ada di dalam stasiun. Hhe ... gampang kan ?

Circular Train cukup bersih dan simple. Tidak ada pintunya, jendelanya dibiarkan terbuka, tempat duduknya memanjang di kiri kanan gerbong dan di setiap stasiun berhenti hanya 1 menitan saja.

Stasiun Kereta Api Yangon sangat besar, ditandai dengan gedung yang megah peninggalan kolonial Inggeris. Untuk masuk ke dalam stasiun bisa diakses dari depan maupun belakang. Jalur keretanya banyak sampai dengan 10 jalur, yang semuanya hampir dipenuhi oleh rangkaian kereta yang sedang parkir di situ. Namun sayang kondisinya yang kotor dan di sekitarnya tercium bau pesing bekas orang pipis yang menyengat. Hal yang mengagetkanku, ketika reservasi tiket Circular Train, aku dilayani oleh petugas 'PNS' PT. KAM (PT. Kereta Api Myanmar) yang hanya pakai sarung dan mengenakan kaos singlet saja. Tidak disangka orang itulah yang juga ada di website http://www.seat61.com/Burma.htm

Selanjutnya, ke Sule Pagoda (turis bayar 2 US $). Pagoda ini sangat terkenal selain Shwedagon Pagoda. Tidak jauh dari Sule Pagoda, terdapat Gedung Balai Kota, Masjid Sunni Bengali (persis di depan Sule Pagoda),  Gereja Baptist Immanuel, Mahkamah Tinggi, Maha Bandoola Garden dan Independence Monument. Semua ini sangat berdekatan letaknya, sehingga bisa seharian di sini tanpa harus pindah jauh-jauh.

Berikutnya, naik ferry dari Pansodan Ferry Terminal menyebrangi Sungai Yangon menuju Dala Ferry Terminal. Ongkosnya hanya 100 Kyats untuk lokal dan sekitar 2000 an Kyats untuk orang asing. Kalau mau bayar hanya 100 Kyats, caranya ikuti aja orang lokal, taruh kamera dalam saku dan jangan bicara.


Menyebrangi Sungai Yangon ke Dala hanya 20 menitan saja. Di Dala ada terminal kecil yang amat krodit. Berbagai moda angkutan siap menanti datangnya penumpang, seperti bus, ojek, taksi, becak kayuh dan van. Di situ juga berderet warung-warung yang menjual berbagai kebutuhan. Aku coba naik bus ke Tawn Tay yang ongkosnya 500 Kyats. Tapi bus ini ngetemnya terlalu lama, menunggu penumpang penuh (1 jam menunggu). Jalanan menuju Tawn Tay kurang bagus dan pemandangannya sangat jauh berbeda dengan Yangon. Di sini tergambar kehidupan masyarakat yang 'poor', desa sekali dengan fasilitas yang terbatas. Banyak terlihat gentong-gentong penampung air untuk kebutuhan sehari-hari.


Pada salah satu kedai di Tawn Tay, aku pesan segelas coffee mix yang harganya cuma 200 Kyats saja. Ngobrol-ngobrol dengan orang sekitar sangat mengasyikan. Bus yang aku naiki tadi ada di samping kedai tersebut. Jadi sambil menunggu bus penuh, aku masih asyik ngobrol bersama mereka.
Akhirnya aku harus kembali ke Yangon dengan bus yang sama. Di atas bus ada salah satu penumpang, seorang ibu dan anak gadisnya yang secara phisik perlu dibantu. Aku selipkan uang 1000 Kyats pada anaknya. Melihat mereka tersenyum, aku sudah amat bahagia. Akhirnya aku sampai juga di Dala Ferry Terminal siap untuk menyebrangi Sungai Yangoon seperti berangkat semula.


Shalat di Masjid Sunni Bengali, Persisnya berada di depan Sule Pagoda. Cukup unik sebenarnya keberadaan dua tempat ibadah yang berbeda ini berdiri saling berdekatan. Pada zaman dulu, awalnya kerukunan beragama dalam satu bangsa berjalan dengan baik. Namun belakangan ini ada gesekan yang keras antara umat keduanya, dibilang tentram tetap kuatir seperti api dalam sekam. Semoga saja tetap rukun selamanya.



Aku beberapa kali shalat di masjid ini. Pertama kali datang menjelang Shalat Dhuhur, bertemu dan berbincang dengan para jamaah masjid. Mereka sangat senang menerima kedatangan saudaranya dari jauh. Kebetulan aku membawa banyak tasbih dari tanah air untuk masjid. Bawaanku diterima baik, akan disimpan dan dipakai sebagai inventaris masjid.

Aku menuju ke tempat wudhu yang berderet panjang dilengkapi tempat duduk dari batu, sabun dan handuk. Maksud kegunaannya agar berwudhu pun bisa khusyuk, bersih dan tidak membasahi karpet masjid setelah diseka handuk.


Shalat berjamaah beberapa kali di sini. Ketika itu aku Shalat Maghrib berjamaah, Surat Al Fatihah selesai dibacakan, namun tidak diikuti kata amin oleh para makmumnya. Untuk meng-amini-nya cukup di dalam hati saja. Begitu juga dengan Shalat Jum'at tidak ada kata amin yang diucapkan keras. Sebelum adzan Jum'at dikumandangkan ada tauziah sekitar 30 menit. Setelah adzan, para jamaah melaksanakan shalat sunah kobliah, lalu Khotib naik mimbar dan adzan lagi. Khutbahnya sangat singkat hanya 5 menitan saja, dilanjutkan dengan Shalat Jum'at.

Di dalam masjid aku bersilaturahim dan bertukar pikiran tentang keadaan negara masing-masing. Mereka juga bercerita tentang kekerasan yang terjadi selama ini. Aku hanya mengiyakan dan menunduk sebagai tanda ikut prihatin. Aku sampaikan pada mereka akan berdoa untuk kebaikan saudara-saudaraku di Myanmar dan agar bersabar, pasti Allah akan menolong kita. Ada beberapa jamaah yang memberi alamatnya kepadaku. Katanya, "Bila ada kesempatan ke sini lagi (Yangon), silakan mampir ke rumah saya". Terima kasih banyak kuucapkan atas penerimaan yang baik dan sangat welcome itu.

Bogyoke Aung San Market, letaknya juga tidak begitu jauh dari Garden GH. Pasar ini lebih bersih dibandingkan dengan pasar yang lain. Turis sangat suka dengan pasar ini yang menyediakan aneka busana, souvenir, dan yang paling terkenal adalah sebagai pusat penjualan emas dan batu permata. Ada beberapa money changer di situ, kalau tukar di sini rate-nya cukup bagus. Di sekitar Aung San terdapat coffee shop yang sering dipadati turis mancanegara. Pasar ini juga dekat dengan Hotel berbintang yang sangat terkenal, yaitu Hotel Trader. Sedangkan di seberang jalan ada sebuah masjid, dan di sekitarnya dipenuhi pedagang KQ5 yang menjual aneka barang. Di samping kiri pasar terdapat Gereja Kathedral dan di kanannya ada bekas Kantor Kereta Api di masa kolonial yang akan dipugar. Perhatian : Bogyoke Aung San Market, setiap hari senin tutup.


China Town, terletak di sebelah barat Sule Pagoda yang tidak jauh dari Garden GH. Hampir sama dengan Bogyoke Aung San Market, namun kawasan ini lebih krodit dan sedikit kotor. Di Pasar China Town menjual grosiran aneka pakaian, mainan anak-anak dan peralatan rumah tangga. Harganya cukup miring. Mulai dari sini sampai ke Masjid Sunni Bengali terdapat beberapa kedai makanan halal.

Shwe dagon Pagoda, tidak ke Myanmar namanya kalau tidak mampir ke pagoda yang paling besar di Myanmar ini. Pagoda yang mempunyai ketinggian hampir 100 meter ini berdiri di atas bukit kecil yang tingginya mencapai 60 meter. Material utama adalah bahan bangunan yang dilapisi emas dan berlian yang cukup banyak. Dilengkapi dengan bangunan pendukung dan patung-patung utama di dalamnya, termasuk sleeping Budha. Semua ini terhampar pada area seluas sekitar 45 hektar.

Siang dan malam, pagoda ini selalu dipadati pengunjung untuk bersembahyang atau sengaja ingin melihat kehebatan arsitekturnya. Untuk masuk ke dalam area ini, bagi turis harus bayar 5 US $ atau 5000 Kyats dan harus melewati pemeriksaan barang, melewati scanner dan gerbang detector. Jalan masuknya ada di beberapa titik. Di sepanjang jalan masuk pintu utama, kiri kanannya berjejer toko dan KQ5 yang menjual makanan minuman, souvenir dan barang-barang yang berkaitan dengan ritual agama Budha.

Dari Sule Pagoda ke Shwe Dagon, cukup naik bus no 43 jurusan Terminal Antar Kota Mingalar. Ongkosnya cuma 200 Kyats dan turun di sekitaran taman dekat bundaran yang ada monumen bunga teratainya. Lalu jalan kaki sekitar 500 meter menuju pagoda. Untuk pulangnya ambil bus yang sama atau bus jurusan Sule Pagoda. Dengarkan saja teriakan kondekturnya, kalau dia bilang "Sule ... Sule ..." maka segera naik dan tetap bayarnya 200 Kyats.


Inya Lake, inilah danau yang berada di tengah kota Yangon. Dari Sule ke sini mudah sekali, naik Bus no 43 jurusan ke Terminal Mingalar. Ongkosnya masih tetap hanya 200 Kyats saja. Sebetulnya tempat ini cukup menarik untuk dikunjungi, danaunya seperti dikelilingi tanggul. Hanya saja sangat sepi sekali, pengunjungnya hanya ada beberapa saja yang sedang asyik pacaran pake payung. Mungkin ini disebabkan oleh bau tidak sedap yang ditimbulkan pupuk kandang yang disebar dekat puluhan tanaman. Atau baunya dari tanaman yang diangkat dari danau yang mengering dan menimbulkan bau kurang sedap. Kalau kesini lebih cocok untuk joging mengelilingi trek pinggir danau yang luas.


Nonton Timnas Vs Thailand, pada tanggal 12 Desember 2013 ada pertandingan babak penyisihan Group B sepakbola ajang Sea Games ke-27 di Stadion Thuwunna, Yangon. Dari depan Gereja Baptist Immanuel dekat Sule aku berangkat dengan Bus no 34 dan turun di perempatan, kemudian harus jalan kaki sekitar 500 meteran di tengah panas mentari yang sangat menyengat.

Kali ini tiket aku beli sendiri, harganya 4000 Kyats untuk dua pertandingan. Kemudian duduk di tempat yang sama dekat awak media bertugas. Supporter Timnas sangat sedikit, yang datang hanya beberapa pelajar dari Sekolah Indonesia di Yangon bersama orang tuanya. Sedangkan Tim lawan, yakni Thailand sangat banyak pendukungnya. Kelihatannya mereka sangat terkoordinir. Semua membawa bendera negara raksasa dan ratusan bendera kecil yang dikibas-kibaskan oleh para supporternya. Belum lagi tongkat-tongkat berisi udara seperti pentungan juga ikut mewarnai Stadion Thuwunna. Hasilnya Timnas kalah 1-4 lawan Thailand. Ya namanya juga olah raga kalah menang itu biasa.



Pulangnya aku ketemu Pak Alex dari Sekolah Indonesia di Yangon. Aku diajak pulang bareng oleh beliau sambil mengantar satu persatu yang ikut jadi supporter Timnas. Aku sempat mampir ke Sekolah Indonesia dan diajak ngopi-ngopi dulu di rumahnya. Tapi aku menolak halus takut merepotkan beliau yang masih harus istirahat. Akhirnya aku diantar sampai depan sekolah untuk kembali pulang ke GH dengan bus jurusan Sule (200 Kyats). Terima kasih Pak Alex atas kebaikan Bapak. 

Kuliner dan Internetan, bagi rekan yang non Muslim tidak masalah untuk menyantap makanan atau minuman di Yangon. Banyak jenis makanan tersedia, tinggal memilih mana yang disukai. Tapi tidak bagi Muslim, hal ini tentu menjadi masalah. Karena makanan halal menurut ketentuan Islam sangat terbatas di sini. Untuk menghadapi permasalahan ini jangan begitu dirisaukan, ternyata cukup banyak tempat yang menyediakan makanan dan minuman dengan label halal. 


Di mana-mana, aku selalu lebih dulu mencari masjid, dari situ semuanya mudah untuk dapatkan berbagai informasi termasuk makanan halal. Kalau stay di sekitar Sule Pagoda cukup gampang mendapatkan tempat makan halal, terutama di sepanjang jalan sebelah barat dan timur Sule Pagoda.

Di bagian barat Sule, ada jalan sebelum Tokyo Donut, sebelah pintu masuk masjid. Di situ tersedia roti capati, kari ayam, syurba soup kentang dan sambalnya (13.00 s/d 21.00). Kemudian sebelum China town terdapat resto KSS yang menyediakan nasi chicken biryani (07.00 s/d 19.00). Di dekat KSS, ada KQ5 yang menjual mie goreng chicken (18.00 s/d 21.00). Hampir semua penjualnya keturunan India.


Di bagian timur Sule, ada dua resto yang menjual nasi biryani. Kalau ingin pilihan lain seperti aneka roti banyak tersedia di sekitar Sule. Buah-buahan, bagi seorang traveler sangat penting untuk disantap tiap hari. Bisa dibeli sepanjang jalan barat atau timur Sule. Begitu juga dengan air mineral, hampir di banyak toko menyediakannya.

Aku biasa ngenet menggunakan smartphone dengan jaringan free wifi, seperti yang ada di airport atau GH. Tapi adakalanya kualitas signal-nya yang lemah sehingga tidak bisa berhubungan. Selama traveling, aku tidak pernah menggunakan telepon untuk bicara dengan anak dan isteriku. Hanya menggunakan facebook atau messager saja, karena lebih hemat. Apabila kualitas signal wifi ngambeknya lama atau ada masalah di HP-ku sendiri, terpaksa harus lari ke Warnet. 

Layanan Warnet di Yangon sudah lebih mudah dan cukup banyak dibandingkan sebelumnya. Biasanya aku ngenet di 500 meteran jalan arah timur Sule, taripnya 400 Kyats per jam. Tapi belakangan, aku tidak perlu jauh-jauh ke sana. Di bawah Sule terdapat deretan toko, salah satunya ada Warnet di situ. Harganya sama dengan yang sebelumnya yakni 400 Kyats per jam. Kadang-kadang aku ngenet hanya untuk nge-print saja, jadi cukup sewa 30 menit tidak apa-apa.

Melihat tingkah laku masyarakat, menikmati sesuatu tidak melulu harus berupa obyek wisata. Memperhatikan tingkah laku, tingkah polah atau segala aktivitas yang dilakukan orang Yangon, itu juga sangat mengasyikan.

Sebagai contoh, adalah melihat para kaum pria muda atau tua yang menginang (ngunyah) sirih. Budaya nginang di Myanmar ntah dimulai sejak kapan, aku tidak tau persis. Tapi pastinya hal ini adalah warisan budaya yang sudah dilakukan sejak lama. Warung-warung kecil yang hanya berupa sebuah meja kecil dan kursi ada di mana-mana menjual paketan sirih atau yang disebut bida.

Per paket minimal isinya 4 buah, harganya 100 Kyats. Membelinya, kadang-kadang harus antri karena banyak peminatnya dan harus dibuat langsung di situ. Daun sirih dibeberkan di atas meja, lalu diberi beberapa campuran dan dilipat satu persatu kemudian dimasukkan ke dalam plastik bening sebagai bungkusnya.

Mulailah mereka mengunyah bida. Nikmatnya mungkin sama dengan menikmati sebatang rokok. Hampir 70% kaum lelaki di Myanmar mengkonsumsi bida. Kebiasaan ini tentu harus menyiapkan anggaran tersendiri setiap hari. Dari pagi sampai pagi lagi, asal mereka tidak tidur selalu mengkonsumsi bida. Di dalam bus malam pun banyak yang makan bida. Kalau begitu, kaca bus malam yang ber-AC harus dibuka untuk membuang ludah atau riak sisa bida. Khuuuwek ... Fuh. Itulah suara yang sering terdengar di mana-mana. Tidak peduli di tempat makan, di kantor, di dalam kendaraan atau di mana pun seperti itu.

Dampak pemakaian bida, aku belum tau baik atau sebaliknya. Yang pasti setiap hari ada uang yang harus keluar untuk membeli bida. Bibir yang berwarna merah dan gigi yang berkarat warna merah seperti warna nikotin bagi seorang perokok sudah biasa dilihat. Belum lagi di berbagai tempat harus tercemar dengan cairan bida ada di mana-mana. Di berbagai tempat pelayanan publik harus menyediakan semacam tempat sampah berselubung plastik untuk membuang sisa bida. Menurutku ini suatu pencemaran lingkungan, tapi mau bilang apalagi, ini suatu warisan budaya. Mungkin lebih baik mengkonsumsi bida daripada merokok yang dapat merusak kesehatan. Kemungkinan lain, tidak ada orang yang sakit gigi kalau mengkonsumsi bida. Aku belum tau pasti.


Itu tadi adalah kebiasaan kaum lelakinya, sekarang mari kita lihat kebiasaan kaum perempuannya. Memakai bedak dingin. Itulah kebiasaan perempuan yang hampir sama dengan mengkonsumsi bida sebagai warisan budaya bangsa.


Memakai bedak warna keputihan pada muka secara tidak beraturan tampak di mana-mana. Pemakainya hampir merata di  seluruh kalangan dari anak kecil sampai orang tua, di desa maupun di kota. Namun modelnya dominan berbentuk persegi di pipi kiri dan kanan. Bagi yang baru melihat hal semacam ini cukup unik dan merasa aneh. Apaan sih ini dan apa maksudnya ? Tapi kalau sudah sering melihatnya, hal seperti ini sudah lumrah.

Pernah aku baca sebuah artikel tentang bedak dingin ini. Pada prinsipnya adalah untuk mencegah sinar ultra violet langsung mengenai kulit muka.

Hal menarik lainnya adalah kebiasaan membawa rantang stainless kecil ke tempat kerja. Kalau dalam istilah jawa-nya sering disebut mbontot. Yaitu membawa bekal dari rumah ke tempat kerja. Pada saat jam istirahat kerja, rantang ini akan dibuka dan disantap sendiri atau bersama-sama temannya. Sering juga mereka saling menukar bawaannya pada sesama temannya. Kebiasaan ini dilakukan oleh pria dan wanita. Hal seperti ini sangat baik, disamping dibuat sendiri di rumah yang lebih hygenis, manfaat lainnya adalah bisa menekan pengeluaran.

Longyi, nama lain sarung buat lelaki atau kain panjang buat perempuannya. Memakai longyi merupakan kebiasaan sehari-hari bagi semuanya, termasuk anak-anak.

Warisan budaya yang terus dipertahankan sampai sekarang adalah hal yang sangat positif. Disamping terlihat lebih sopan, hal semacam ini adalah khas suatu bangsa. Bagi kaum perempuannya juga sangat positif untuk menghindari 'kejahatan seksual' dari niat jahat para pelakunya. Sungguh senang melihat ke-khas-an negeri ini yang sudah jarang ditemui sekalipun di negeri sendiri.

Pacaran dalam payung, ini hanya istilahku sendiri saja. Sering kutemui di taman-taman seputaran Yangon pasangan yang bercengkerama mesra. Keasyikan bersamanya itu tidak lengkap rasanya kalau nggak ditutup pake payung. Jadilah mereka ber 'pacaran dalam payung'. Bagi mereka, cara ini kelihatan lebih sopan daripada berpacaran terbuka polos begitu saja.

Nongkrong bareng, duduk bersama teman sambil menikmati makanan dan minuman memang sangat mengasyikan. Di Yangon, tempat-tempat untuk bersantai seperti beginian sangat banyak. Tempatnya dapat berupa kedai atau di halaman kecil atau di trotoar. Dilengkapi dengan kursi-kursi dan meja yang pendek mereka berkumpul ngobrol, kadang-kadang sambil nonton bareng pertandingan bola di TV. Di setiap meja disediakan termos-termos berisi air panas bersama cangkir-cangkir mungilnya. Aku pernah mampir dan minum beberapa cangkir teh panas dari termos. Ketika sudah selesai, aku tanya "Be lau leh ?" (berapa ?). Mereka bilang "Ga usah bayar, gratis". Katanya. Aku hanya bisa ucapkan terima kasih pada mereka.

Kebiasaan seperti ini ada juga di Vietnam, makassar dan ambon (tapi pakai meja yang normal tingginya).

Begitulah sisi-sisi kehidupan yang ada di sekitar Yangon, yang akan aku ambil nilai positifnya dan menghindari yang kurang bermanfaat.





Copyright© by RUSDI ZULKARNAIN 

No comments: