BERAMAL LEWAT TULISAN

Monday 21 October 2024

SENGAJA MENCARI JALAN BERLIKU MENUJU BANDANEIRA

SURABAYA to MAKASSAR


KM Dharma Lautan Utama (DLU) Dharma Kencana VII membawaku dari Surabaya sampai ke Kota Makassar pada akhir Bulan Pebruari 2024. Ini adalah awal perjalananku menjelajahi Tana Toraja, Pulau Buton, Maluku dan Maluku Tengah pakai beberapa KM Swasta/Pelni.


KM. Dharma Kencana VII berangkatnya molor 4 jam ditambah lagi molor 2 jam pas di Pelabuhan Makassar karena dermaga full, kapal ga bisa sandar. Total molornya total jadi 6 jam sehingga kapal merapat menjelang Shubuh. Semula, kalau tibanya pukul 8 malam sesuai skedul, rencanaku akan menginap semalam di Makassar dan esoknya ke Toraja dengan bus. Karena tibanya hampir shubuh, aku menunggu di halaman masjid dekat pelabuhan kemudian Shalat Shubuh berjamaah di situ. Hikmah keterlambatan ini aku jadi hemat tidak bermalam di hotel.


MAKASSAR to TANA TORAJA

Tidak terasa hari beranjak terang. Ada perbedaan waktu antara Makassar dengan waktu di Jawa yakni lebih cepat 1 jam. Habis ngopi² dekat Pasar Sentral, aku ambil pete² (sebutan angkot) jurusan Daya dan turunnya di Perwakilan Bus Metro Permai (8K). Kebetulan sekali ada bus yang berangkat pukul 8 pagi. Langsung aku eksekusi beli tiket ke Toraja (200K), tidak lama bus pun meluncur ke tujuan. Perlu waktu 10 jam perjalanan untuk sampai ke Toraja dengan bus yang terbilang nyaman. Istirahat makannya di resto pinggir pantai yang view nya keren banget, lokasinya sebelum masuk kota Pare Pare.


Bus dari Makassar melewati Maros - Pangkep - Barru - Pare Pare - Enrekang (di sini jalannya kurang bagus & sempit) - Makale dan terakhir di Rantepao. Aku turun di perwakilan bus dari situ berjalan kaki sampai Riana Homestay yang bertarip 150 K semalam. Homestay nya worth it bersih dan hospitality owner nya cukup baik melayani tamu meski lokasinya harus masuk gang kecil. Ada 5 kamar tersedia di homestay ini, kamar tidur dan kamar mandinya besar amat, air panasnya juga ada.

Tau sendirilah perjalanan selama 35 jam di kapal plus sambung dengan bus selama 10 jam ke Tana Toraja ini sangat melelahkan. Untuk memulihkannya ya makan, mandi air panas dan istirahat tidur yang cukup. Cuma itu aja sih obatnya setiap aku melakukan perjalanan jauh.

Bangun pagi badan terasa lebih fresh karena tidurnya bener² pulas. Saatnya eksplor Kota Rantepao dan sekitarnya. Pertama, cari laundry dan makan nasi kuning berlabel halal di dekat Rumah Sakit Santa Teresa Marempa di Jl. Andi Mappanyuki. Habis itu lanjut pakai angkot (7K) menuju Terminal Bolu dan sambung dengan ojek ke Tempat Wisata Rumah Adat Pallawa (50K pp). Akhirnya sampai juga ke tempat aslinya karena selama ini aku hanya lihat dari gambar dan dari video aja. Di sinilah tempatnya Tongkonan yakni rumah adat yang tertua di Tana Toraja. Tongkonan banyak sekali tersebar seantero Toraja, ada yang paling tua sampai yang terbaru. Enaknya kalau kemana mana pakai ojek otomatis nambah teman baru dan secara tidak langsung ada kontribusi penghasilan kepada warga lokal. Untuk soal jeprat jepret ga perlu repot dilakukan sendiri, abang ojek akan membantu kita selama perjalanan.

Driver ojek Bang Arisbiu asli Toraja menuju ke Ke'te Kesu sesuai permintaanku yakni ke pekuburan adat Toraja yang ada di perbukitan. Di lokasi yang sama terdapat beberapa Tongkonan juga yang berusia tua. Kebanyakan mayat² dikubur tergantung di dalam peti pada dinding bukit. Dan beberapa lagi petinya dimasukkan dalam lubang di lerengnya. Tampak puluhan tengkorak dan tulang belulang manusia tersusun rapi di pinggiran tebing bukit. Menuju kesana harus menapaki anak tangga yang tersusun dari bebatuan. Ini adalah tradisi adat masyarakat Tana Toraja menguburkan mayat² di perbukitan. Prosesi penguburan selalu diiringi dengan upacara² besar sebagai pengantar arwah ke atas sana dan diiringi tradisi memotong kerbau bule.

Beberapa hari ini Rantepao dan sekitarnya sering diguyur hujan. Malah ada salah satu desa di Makale dilanda banjir bandang. Memang kontur tanah di kabupaten ini naik turun, banyak perbukitan dan sungai, rumah² hunian berdiri di atas permukaan tanah yang tidak rata.

Semula aku ingin sekali ke Lolai yakni "Negeri di atas awan" tapi kembali lagi cuacanya kurang mendukung. Padahal view nya keren, kita bisa berdiri sejajar dengan awan dan paginya bisa lihat sunrise. Ga perlu serius dipikirin, masih banyak spot wisata yang lain misalnya ke Pasar Hewan samping Terminal Bolu. Hujan baru aja mereda, aku cepat bergegas kesana. Kebetulan, ini adalah hari pasar otomatis suasananya jadi ramai banget. Para penjual dan pemilik kerbau masing² menjajakan hewan peliharaannya. Mungkin ada seribuan kerbau yang ada di pasar itu. Kerbau² memiliki kelas kualitas yang berbeda² sehingga harganya juga ga bisa sama. Harga kerbau² di sini mulai puluhan juta hingga ratusan juta.

Menyusuri sudut² Kota Rantepao sangat mengasyikan sambil berinteraksi dengan warga lokal, ke masjid, pasar dan ke spot² kulinerannya. Pagi² aku ketemu tukang durian, ya mampirlah beli satu dua durian makan di TKP. Harganya cuma 10K. Sebelumnya aku beli langsat di pasar, saat itu memang lagi banjir langsat. Harganya sekilo cuma 7,5K.

Di sepanjang Jl. Diponegoro banyak perwakilan bus khususnya jurusan ke Makassar. Karena lokasinya dekat homestay, aku ga perlu jauh² beli tiket. Beli dadakan pun jadi, yang penting seatnya masih ada. Tana Toraja memiliki dua kabupaten yakni Kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale dan Tana Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Plat nomor kendaraannya adalah DP.


MAKASSAR to BAU-BAU BUTON

Malam itu aku harus kembali ke Makassar karena esok sore akan meneruskan perjalanan ke Bau-Bau dengan Kapal Pelni NGGAPULU. Ke Makassar nya pakai bus yang sama yakni Metro Permai. Aku turun di Perwakilan sama sewaktu berangkat dari Makassar. Dari situ berjalan kaki sepuluh meteran untuk sarapan Coto Makassar. Lantas ke arah Pasar Sentral dengan pete². Tidak perlu cari penginapan karena sebentar sore harus ke pelabuhan menuju Bau-Bau. Untuk mandi dan lain² aku diterima baik & dilayani oleh jamaah Masjid Nurut Taqwa di sekitaran Pasar Sentral. Sebelum kapal berangkat aku santap ikan bakar bolu (bandeng) bagian ekor yang rasanya bikin rindu karena lama tidak makan ikan bakar khas Makassar.

Ojek online membawaku ke pelabuhan. Check in tiket sampai kapal berangkat semuanya on time sesuai jadwal. Meski hanya di kelas ekonomi tapi suasananya asyik bertemu puluhan teman baru dalam perjalanan bersama KM NGGAPULU. Perjalanan selama 15 jam semua lancar² aja dan tibanya pun on time di Pelabuhan Murhum Bau-Bau. Aku panggil ojek menuju penginapan (15K) dan dapat kamar yang taripnya cuma 130K semalam, namanya Wisma Kayangan. Di sebelahnya ada Warung Makan Qori yang menunya komplit, nasi kuning, nasi uduk, ikan, telur, gado² dan sayur. Harganya murah banget padahal ikannya seger².

Badan sebenarnya agak capek, tapi apa boleh buat badan harus tetap digerakkan biar otot²nya ga kaku. Mumpung aku cocok makan di Warung Qori, kali ini milih gado² (15K). Habis itu pake ojek menuju ke Pulau Makassar (PuMa) lewat Jembatan Biru. Jalannya harus memutari pulau berbentuk U setelah itu melewati jembatan yang lebarnya hanya cukup 1 mobil atau 2 sepeda motor saja. Agar kendaraan tidak saling berhadapan, maka dibuatkan space pengaman di samping kiri & kanan setiap beberapa puluh meter. Jembatan Biru ini diresmikan pada tahun 2017 menghubungkan Lowulowu di Pulau Buton dan Pulau Makassar sepanjang 1300 an meter. Tidak lama berada di PuMa aku kembali melewati Jembatan Biru menuju Air Terjun Rimba Tirta. Jalannya masuk tidak terlalu jauh dari jalan poros Anoa. Cantik banget air terjunnya seperti jamur raksasa yang dialiri air.

Sambil menuju arah pulang aku minta turun di tepian pantai Kotamara. View nya bagus menghadap laut. Dari situ tampak Pulau Muna. Banyak kedai tenda di sepanjang Kotarama. Yang dijual kebanyakan sachet-an seperti aneka kopi, sop ubi, saraba dan gorengan. Harganya normal² aja ga mahal. Habis itu aku ke "Patung Kepala Naga" di sekitaran Pantai Kamali. Di dekat situ ada yang jual durian, langsung aku cobain 2 biji yang kecil² (25K). Capek juga eksplor hari ini lantas buru² balik ke penginapan dengan ojek (9K).

Esoknya aku ke laundry. Ada 3 potong baju/celana yang harus dicuci (13K). Habis itu ke Benteng Keraton Kesultanan Buton pake ojek (15K). Benteng Kesultanan Buton adalah salah satu objek wisata bersejarah yang ada di Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Bentengnya masih utuh. Dulu, ibu kota Kesultanan Buton ada di situ. Lokasi benteng berada di atas bukit menghadap laut yang terbuat dari batu kapur yang keras.

Beberapa ratus tahun yang lalu Kesultanan Buton sudah ada dan sultannya terus berganti hingga kini. Benteng ini memiliki beberapa pintu gerbang dan meriam² yang masih lengkap berada pada selah²nya. Benteng ini memang sangat cocok untuk pertahanan karena letaknya di atas bukit dengan lereng yang terjal.

Dari atas benteng tampak laut dan Pulau Muna yang view nya sangat indah. Sejarahnya benteng ini dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596). Sejak itu benteng ini terus dibangun dikembangkan oleh Sultan² berikutnya hingga tampak seperti sekarang ini.


BAU-BAU to NAMLEA PULAU BURU

Aku pake ojek dari Benteng ke Masjid Agung Bau-Bau buat shalat Dhuhur jama qashar Ashar. Lantas beli nasi bungkus di depannya dan pulang pake ojek lagi ke penginapan (10K). Kalau kode plat kendaraan di Makassar adalah DD, Tana Toraja DP sedangkan di Bau-Bau DT sama seperti dengan Kendari.

Hari terakhir di Bau-Bau ga ada kegiatan apa² cuma sarapan, makan siang dan ambil laundry. Yah ada sih cuci² sedikit di kamar, karena petangnya aku harus lanjut ke Namlea (Pulau Buru) pakai KM TIDAR. Menurut rencana KM TIDAR yang sudah berusia 35 tahun itu akan menempuh perjalanan selama 24 jam. Selama di Bau-Bau aku ga terlalu memaksakan diri untuk menjelajahi semua tempat. Santai dan kalem² aja karena prioritas utama dalam perjalanan ini adalah menjaga tubuh tetap sehat bugar.

Pulau Buru (Bumi Fuka Bipolo) saat ini memiliki dua kabupaten yang masing² punya ibukota kabupaten Namlea dan Namrole. Kontur permukaan tanahnya naik turun terdiri dari perbukitan, gunung dan lautan. Sebelumnya pulau ini menjadi saksi bisu sejarah kelam bangsa Indonesia pada masa orde baru. Menjadi tempat pembuangan para mantan tahanan politik atau mereka yang disangka sebagai bagian dari PKI. Paska reformasi banyak dari mereka yang memutuskan untuk tinggal menetap, berkeluarga, bahkan meninggal dan dimakamkan di sana.

Disamping memiliki kekayaan laut yang banyak menghasilkan ikan. Pulau ini juga punya home industri minyak kayu putih kualitas nomor satu. Potensi alam lainnya adalah tambang emas diantaranya ada di Gunung Botak daerah Wayapo dan banyak menghasilkan rempah². Ketika aku memasuki wilayah Pulau Buru waktu di sini sudah berubah menjadi WIT atau Waktu Indonesia Timur (WIB+2).

Turun dari kapal aku disambut hujan yang lumayan deras. Menunggu hujan reda aku ngopi² sambil makan pisang goreng dengan sambal di warung pinggiran Pelabuhan Namlea. Begitu lihat hujan mereda, aku bergegas panggil ojek menuju Penginapan Awista yang jaraknya sekitar 1 Km dari Pelabuhan (15K). Aku ambil kamar yang rate nya 200K. Kamarnya luas, bersih, ada AC, TV dan sarapan. Alhamdulillah perjalanan ke Namlea dari Bau-Bau berjalan lancar. Habis mandi di penginapan buru² cari durian di simpang empat Jl. Yos Sudarso - Jl. Raja Ishak Wael. Harganya murah tinggal pilih. Puas deh selama perjalanan ini... alhamdulillah. Habis itu Maghriban jama Isya di masjid terdekat.

Setelah istirahat tidur tadi malam, badan terasa lebih segar. Habis minum teh dan kue dari penginapan, aku mulai menjelajah lagi diantaranya ke Pasar Inpres. Duit kecil cuma tersisa 8K. Ketika panggil ojek aku bilang boleh ga ke Pasar Inpres bayarnya 8K. "Ga masalah, jangan bicara² ongkos... naik aja ! itu gampang ga masalah", katanya. Itulah salah satu kebaikan warga Namlea.

Di Pasar Inpres memang lagi banjir durian. Pagi² aku sudah makan 2 biji di sana. Harganya yang besar 2 buah cuma 25K tanpa kutawar. Kalau di Namlea jarang yang dijual bijian tapi setali. Mulai setali isi 2, 3, 4 dst. Dari pasar aku pakai angkutan warna merah ke Jikumerasa yang jaraknya 15 kilometeran. Disitu ada tiga pantai yang saling berdekatan yaitu Pantai Jikumerasa, Pantai Ako (Pante Paser putih) dan Pantai Baikolet. Di sekitaran tiga pantai itu hampir setiap hari muncul lumba² terutama pada pagi hari. Suasana pantai sangat sepi bahkan hampir ga ada pengunjungnya.

Kembali ke Namlea harus tunggu angkot yang lewat. Lama menunggu akhirnya ada juga yang lewat. Aku turun di terminal Pasar Namlea. Jurusan yang populer adalah ke Unit dengan beberapa titik tujuan. Di Unit banyak sekali orang Jawa yang bermukim di situ. Istilahnya "Kampung Jawa" yang sudah puluhan tahun tinggal di Namlea, menikah dengan warga lokal hingga memiliki keturunan beberapa generasi. Banyak usaha yang digeluti setiap hari seperti berdagang, bertani, nelayan atau bekerja pada instansi. Di pulau ini plat kendaraannya adalah DE.

Pas lagi di Namlea ada yang hubungi aku lewat WA kalau dia pernah bertugas di pulau ini. Sambil bernostalgia dia bercerita A to Z tentang Pulau Buru. Familinya ada banyak di sini. Sampai² dia menitipkan salam pada sahabatnya yang memiliki restoran besar di Jalan Dermaga. Dan pada akhirnya aku sempat makan di situ sambil menyampaikan salamnya. Aku pun jadi dapat teman baru lagi yang berasal dari Jawa dalam perjalanan ini.

Hari terakhir di Namlea sehabis minum teh, dengan ojek aku menuju ke Tugu Tani (10K+15K). Jeprat jepret lanjut ke Pasar Pagi cari minyak kayu putih asli Pulau Buru tanpa label di Toko Semeru. Lantas sarapan nasi padang (25K). Ga lupa makan duren lagi di depannya. Dan buru² ke pelabuhan beli tiket kapal cepat tujuan Ambon (120K).

Siang ini Shalat Dhuhurnya di Masjid Agung Al Buruuj. Sambil checkout penginapan, Backpack sementara kutitipkan di resepsionis. Setelah itu mengisi waktu ikut Bang Ala distribusikan air dari masjid ke beberapa tempat yang perlu diisi. Kalau tandon di mobil habis balik lagi ke masjid untuk diisi. Bang Ala dari yayasan masjid, aku baru aja berkenalan pas di masjid dan minta ikut ke tempat² yang mau diisi sambil menunggu kapal cepat berangkat ke Ambon. "Silakan Pak kalau ikut saya gpp", kata Bang Ala.


NAMLEA to KOTA AMBON

Sebelum aku ke pelabuhan, aku ambil backpack di penginapan dan melipir jalan kaki pelan² sampai pelabuhan. Di situ aku ngopi² bersama beberapa penumpang menunggu kapal cepat berangkat ke Ambon. Sebenarnya ini bukan kapal cepat, cuma bentuknya aja yang sama dengan kapal cepat. Kalau kapal cepat umumnya terdiri dari deretan tempat duduk. Tapi yang ini dimodifikasi menjadi deretan tempat tidur tingkat yang sempit. Sehingga meluncurnya tidak begitu kencang dan waktu tempuhnya tidak berbeda jauh dengan ferry biasa. KM Cantika Lestari 6E berangkat agak terlambat sehingga tiba di Pelabuhan Slamet Riyadi (dekat Pasar Mardika) pukul 05.30 WIT. Dari pelabuhan aku berjalan kaki hingga sampai di Masjid Al Fatah Ambon untuk menunaikan Shalat Shubuh. Sarapannya di depan masjid, Nasi Kuning Bude Sur yang enak rasanya (28K).

Saatnya cari penginapan. Tak jauh dari Masjid Al Fatah, sekitar seratus meteran ada Cahaya Guest House yang rekomendit semuanya (250K). Salah satunya late check in pada pukul 07 pagi, ke Pelabuhan Kapal Pelni cuma 100 meteran. Begitu juga pusat bakaran ikan dan kulineran cuma 100 meteran. Sempatkan waktu ke Monumen Gong Perdamaian dan makan durian di sekitar Pasar Mardika. Siangnya Jumatan di Masjid Al Fatah yang selalu dipadati jamaah.

Petangnya makan ikan bakar yang fresh banget di RM. New Tindoi yang berada di gang kecil antara Jl. Yos Sudarso - Jl. Sam Ratulangi (Sudut Lorong Arab). Rasanya pas, lembut dan harganya cukup murah. Kemarin, di Namlea harga buah²an lebih mahal daripada Ambon sebut saja misalnya sekilo langsat 20K dan rambutan 25K. Sedangkan di Ambon langsat sekilo cuma 10K, tapi durian rata² harganya sama antara Namlea dan Ambon.

Hari selanjutnya masih di Ambon aku ke Pasar Mardika yang kondisinya bener² macet & krodit oleh berbagai kendaraan dan orang berbelanja. Dari situ aku naik angkot merah jurusan Laha. Angkot jalannya pelan cuma sejengkal² karena padat merayap. Saking macetnya aku bisa turun sambil belanja semangka dan ke ATM. Aku minta turun di pangkalan ojek dekat Pizza Hut (7K). Dari situ pake ojek sampai loket pintu masuk ke Air Terjun Taeno (15K). Karcis masuk ke spot air terjun 5K.

Menuruni jalan plesteran harus ektra hati², baiknya pakai sandal/sepatu yang bergerigi sebab medannya cukup licin. Setengah perjalanan yang terus menurun resikonya semakin tinggi meski ada pegangan dari besi. Jalan setapak ini melewati lebatnya hutan ringan. Nah, pas di bawah dekat air terjun terdapat gazebo untuk taruh barang bawaan/pakaian.

Mulai dari pos tiket sampai dekat air terjun tidak ada seorang pun yang kelihatan masuk ke kawasan ini. Aku treking sendirian ke bawah melewati tangga plesteran yang curam. Ga disangka di TKP sudah ada anak² SMA yang duluan mandi² di telaga air terjun. Di sini licin banget, kalau ga waspada bisa jatuh terpelanting atau terpeleset. Lumayanlah ada anak² sehingga bisa bantu jerprat jepret. Anak² semuanya balik ke pos atas karena mereka sudah lama berada di situ. Alhasil, aku cuma tinggal sendirian gimana kalau ada apa² siapa yang bakal menolong ? Ya Bismillah nikmati aja sendiri bersama tongsis & tripod sederhanaku.

Nah lo, sekarang saatnya balik ke atas menapaki anak tanggal yang terjal. Caraku mendaki kiatnya adalah jangan nafsu tapi pelan² aja. Akhirnya sampai juga kan. Balik ke jalan raya dengan ojek (10K) kemudian sambung angkot merah 'Laha' tujuan Pasar Mardika (7K). Sebelum tiba di penginapan aku mampir ke Kedai Jonea makan papeda kuah ikan kuning. Menu papedanya plus minum lengkap harganya cuma 30K. Menjelang Maghrib aku makan di situ lagi dengan menu steak tuna (29K). Makan di Jonea rasanya cocok semua, memang enak masakannya.

Esoknya sehabis sarapan di penginapan siap² check out menuju Pelabuhan Penyebrangan Kapal Cepat Tulehu. Dari penginapan naik motor ojol (10K) turun di Oto Liang dari situ lanjut pakai angkot jurusan Tulehu (20K). Angkot akan memberi kesempatan penumpang turun untuk beli tiket di loket kapal cepat yang berada di luar pelabuhan. Tujuanku ke Amahai dekat Masohi ibukota kabupaten Maluku Tengah Pulau Seram. Kalau hari minggu kapal berangkatnya pukul 11:00 sedangkan kalau hari biasa pukul 09:00. Harga tiketnya yang executive 148K. Perjalanan ke Amahai ditempuh dalam 2 jam melewati 2 pulau yakni, Haruku dan Saparua.

Kapal Cepat Cantika Torpedo penumpangnya full karena besok atau lusa sudah masuk Bulan Ramadhan. Tiba di Dermaga Amahai sedikit terlambat karena ada kapal cepat lainnya yang masih sandar, sehingga satu dermaga dipakai dua kapal. Semua penumpang turunnya lewat dalam kapal sebelahnya. Dari Amahai aku pakai ojek ke pusat Kota Masohi (25K). Aku stay di Penginapan Rizal yang cukup strategis di Jl. Pala (135K). Lokasinya dekat dengan Pasar Tradisional Binaya yang luas, Masjid Agung, Kantor Bupati dan Pelabuhan Ina Marina. Pada saat masuk Kota Masohi, ditetapkan bahwa esok malam adalah Shalat Taraweh yang pertama. Aku shalat di salah satu masjid dekat Pasar Binaya. Stay di Penginapan Risal cuma semalam dan esoknya dapat penginapan yang lebih murah & strategis (100K).

Setelah menginap dua malam di Masohi, aku akan lanjut ke Pulau Saparua. Dan informasi transportasi dari Masohi ke Pulau Saparua kudapat dari seorang ibu penjual nasi kuning. Dia tau betul detailnya, jika mau ke Saparua berangkatnya paginya dari Dermaga Namano. Esoknya dengan ojek aku bergegas ke Namano (15K), jaraknya sekitar 5 kilometeran dari Masohi. Beruntung di pos dermaga sudah ada calon penumpang speed yang sedang menunggu, sehingga aku ga sendirian. Sedangkan speed boat dari Saparua belum juga tampak masuk dermaga.

Menunggu speed datang, dilakukan pendaftaran calon penumpang dan pembayaran. Pas datang, speed harus isi BBM yang dituang pakai jerigen, bongkar barang dan susun barang penumpang baru. Otomatis pemberangkatan jadi mundur. Akhirnya tepat pukul 9 pagi speed meluncur meninggalkan Namano Masohi menuju Pulau Saparua hanya membawa sepuluh penumpang (kapasitas max. 20 penumpang). Sangat disayangkan kondisi speed boat jalur Saparua - Namano (pp) kurang baik dan tua. Perlu peremajaan dan penambahan jumlah armada sehingga masyarakat lebih mudah berlalu lalang antar pulau tersebut. Perlu diperhatikan juga kondisi jembatan dermaga yang sebagian sudah miring dan berlubang karena papannya tidak ada.

Menuju Saparua ongkosnya 85K dan waktu tempuhnya sekitar 1 jam. Alhamdulillah cuaca baik sehingga speed bisa merapat di Dermaga Ihamahu - Nolot Pulau Saparua dengan selamat. Dari dermaga harus pakai ojek lagi (25K) ke Kota Kecamatan Saparua selama 15 menit. Aku menginap di Hotel Perdana (165K) yang lokasinya dekat dengan Benteng Duurstede di pinggir pantai. Esoknya aku minta pindah ke kamar yang single bed, lumayan harganya lebih murah (135).

Sekitaran pukul 4 sore aku bersiap ke Kampung Siri Sori Islam yang jaraknya kurang dari 10 kilometeran. Baru aja mau berangkat, gagang kacamataku patah. Beruntung aku bawa cadangan kacamata. Maksud hati mengencangkan sekrup kacamata cadangan, eh malah ikut bermasalah jadi patah. Maklumlah harganya murah. Aku sengaja bawa lem 'alteco' dan obeng kecil untuk jaga² kalau kacamataku ada trobel. Ku otak atik akhirnya yang satu bisa diselamatkan meski belum nyaman untuk dipakai karena sewaktu² bakal patah lagi. Sedangkan yang satunya terpaksa aku harus beli kacamata aksesoris dan kukanibal ambil gagangnya aja (25K). Memang, di daerah yang serba terbatas ini kita harus serba bisa untuk mengatasi kedaruratan.

Akhirnya aku tetap meluncur ke Kampung Siri Sori Islam dengan ojek (20K). Aku turun di muka Masjid Baiturrahman yang merupakan satu²nya masjid di Pulau Saparua. Di situ aku berusaha menyapa ke beberapa warga lokal yang pas bertemu. Lantas menjelang Maghrib beli takjil es buah dan 3 buah durian jatuh pohon. Kalau es buahnya buat membatalkan puasa, sedangkan duriannya kumakan sehabis taraweh di masjid. Berbuka puasanya aku dijamu oleh Bang Usman salah satu pengurus masjid Baiturrahman. Selesai Taraweh aku kembali ke Saparua juga diantar Bang Usman. Jazzakallah Bang Usman, Allah yang akan membalas segala kebaikan Abang.

Di belakang Hotel Perdana terdapat peninggalan Belanda yakni Benteng VOC Duurstede. Tamannya masih berdiri utuh meski ada bagian yang tidak lengkap lagi. Sedangkan bentengnya yang menghadap laut kiri dan kanan tampak masih kokoh dan cukup lengkap. View di sekitar benteng pada pagi dan sore hari sangat indah untuk dieksplor lalu diabadikan.

Hari Rabu adalah hari pasar sehingga suasana jadi ramai oleh penjual dan pembeli. Dampaknya penginapan juga cukup penuh tamu. Hasil bumi & pertanian datang dari Pulau Nusa Laut dan wilayah Saparua lainnya. Durian, pala, sagu, gandaria, pepaya dan lainnya penuh di sepanjang trotoar. Jalanan jadi macet. Hari pasar ada Rabu dan Sabtu. Habis menyaksikan kehebohan di pasar, aku meluncur dengan angkot jurusan Haria (10K). Maksudnya ke rumahnya Pahlawan Nasional Thomas Matulesy (Pattimura).

Baru aja turun dari angkot serta merta merogoh saku ambil HP. Lho kok ga ada. Pasti jatuh nih di angkot. Memang saku celanaku ga dalam jadi kalau duduk gampang jatuh. Buru² aku panggil ojek yang ada di situ. Bang... Bang... kita cari yuk angkot warna biru, HP beta ketinggalan. Kebetulan aku duduk di samping sopir jadi tau wajahnya. Dikejar ksana tidak ketemu, dikejar ksini tidak ada. Aku berhenti pada sekumpulan anak muda mau pinjam HP untuk call HP-ku. "Om beta seng ada pulsa." Wah dia ga punya pulsa. Coba Bang kita putar sekali lagi di pasar ! pintaku. Alhamdulillah dapat. Bang, permisi HP beta jatuh. "Oh ada ini Om, beta tidak tau kalau ada HP jatuh" , kata sopir. Urusan beres, kasihlah tips tapi tidak banyak sebagai tanda terima kasih. Untung di Saparua, coba kalau terjadi di kota lain bakal lain ceritanya.

Aku kembali ke rumah Pattimura diantar Abang Ojek dan kasih ongkosnya plus jasa tadi bantu cari HP. Beres juga, dia tampak senang dengan pemberianku. Di rumah Pattimura aku menyaksikan ada beberapa barang peninggalan beliau diantaranya pedang dan bajunya. Bersyukur aku bisa kemari sehingga bisa mengetahui sejarah perjuangannya.


Hari terakhir di Saparua listriknya puluhan kali mati/hidup sehingga mengganggu aktivitas segalanya. Kamar jadi panas karena AC mati, mau ngapa-ngapain di dalam kamar juga susah. Meski ada genset hotel namun petugas hotel merasa capek menghidupkan & mematikan genset berkali-kali. Akhirnya genset dibiarkan mati begitu saja sehingga suasana gelap gulita di malam ramadhan yang ke-2.

Saat² tidak nyaman karena listrik sering mati telah dilewati. Syukuri aja dan kusikapi biasa seperti tidak terjadi apa². Cuma aku berpikir, kok negeri ini pembangunannya tidak merata tidak sama dengan daerah lain. Padahal jarak dengan Ambon cuma 1 jam dengan kapal cepat. Kondisinya sangat jomplang berbagai fasilitas untuk masyarakat Saparua khususnya penyediaan listrik. Aku berharap supaya ada penanganan lebih serius untuk hal ini. Ayo kamu bisa !

Ojek yang kemarin membantu cari HP sekarang mengantarku ke Pelabuhan Haria. Aku janjian agar standby sekitar pukul 6 pagi di depan hotel. Itu dia, Abangnya sudah menunggu lebih dulu. Perjalanan di atas motor Abang ojek bercerita tentang cari HP kemarin. Sambil ngobrol tak terasa aku tiba di Pelabuhan Haria. Penjual tiket kapal sudah stand by di mejanya. Buru² beli tiket ke Tulehu Ambon 75K yang berangkatnya pukul 7 pagi. Ke Tulehu Ambon waktu tempuhnya cuma satu jam saja.

Kembali masuk ke Kota Ambon lagi dengan angkot dari Tulehu (15K). Di Ambon banyak sekali angkot ke berbagai jurusan. Kondisinya tetap eksis tidak berubah ditengah gempuran layanan online. Ambon dan Namlea memiliki plat nomor kendaraan yang sama berawalan DE. Dua malam di Ambon, sorenya siap² berangkat ke Bandaneira dengan kapal Pelni yang tiketnya sudah kubeli seminggu lalu.

Berlayar bersama KM NGGAPULU adalah cara terbaik dari Ambon ke Bandaneira. Dengan kapal cuma perlu waktu 8 jam. Sedangkan dengan kapal lain seperti KM SANGIANG bakal lebih lama lagi. Atau dengan kapal cepat yang jadwalnya seminggu sekali tapi sangat tergantung kondisi cuaca, start nya juga jauh dari Tulehu datang hari kamis dan baliknya hari minggu. Ada juga Tol Laut Sabuk Nusantara tapi kita harus rajin cek jadwalnya. KM NGGAPULU berangkat dari Ambon ontime dan tiba di Neira juga ontime. Memasuki Dermaga Neira lokasinya persis di depan Masjid Hatta Syahrir yang megah. Di situ sudah banyak penjemput, calon penumpang dan pedagang yang memenuhi area luar pelabuhan.
Aku baru aja paham kalau Banda dan Neira itu adalah pulau sendiri². Tapi karena posisinya berdekatan maka sering disebut Bandaneira. Kawasan ini sangat terkenal dan sarat dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Bandaneira dikenal sebagai tempat pembuangan/pengasingan tokoh² pejuang Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan Cipto Mangunkusumo. Oleh karena itu ada dua pulau yang diabadikan diberi nama Pulau Hatta dan Pulau Syarir (Pulau Pisang). Sebagai bukti peninggalan sejarah masa lalu terdapat beberapa bangunan, benteng dan situs yang tersebar di banyak tempat. Disamping sarat sejarah perjuangan Kemerdekaan Indonesia, Banda terkenal sebagai penghasil buah pala (nutmeg) salah satu rempah yang terkenal di dunia. Kawasan ini memang sejak lama menjadi incaran para penjajah karena rempah²nya seperti pala dan kayu manis (cinnamon).

Aku stay di Matahari Guesthouse yang lokasinya tidak jauh dari pelabuhan. Setiap kapal yang sandar tampak jelas dari kamarku. Keluar dari pelabuhan harus lewat halaman belakang Masjid Hatta Syahrir lalu melewati pasar tradisional yang jalannya sempit. Bagian depan guest house adalah pasar. Pas bener kalau butuh apa² jadi gampang. Sedangkan bagian belakangnya langsung laut dengan view beberapa pulau dan Gunung Api. Jika naik perahu kecil (katingting) bisa naik/turun dari bagian belakang Matahari Guest House.

Eksplor pertama yakni ke Pulau Banda Besar. Untuk mencapai pulau ini start nya dari penyebrangan perahu bermotor. Kapasitasnya cuma 15 orang. Dermaga kecil pok pok berada di dekat Hotel Bintang Laut belakang pasar. Cukup membayar 5K aku diantar sampai Dermaga Walang yang panjang di Pulau Banda Besar. Tiba di Walang aku sewa ojek yang lagi mangkal di ujung dermaga untuk mengelilingi Pulau Banda. Prioritasnya adalah ke benteng² dan ke spot menarik lainnya (125K).

Bang Aldin driver ojek membawaku sambil bercerita tentang Pulau Banda. Perjalanannya cukup menegangkan sebab jalannya sempit, tidak mulus² amat, naik turun jalan yang curam. Alhamdulillah Bang Aldin sudah terbiasa membawa penumpang dengan motor bebek manualnya. Tujuanku adalah ke Benteng Holandia, Benteng De Morgenster dan Benteng Concordia. Semua bentengnya menghadap ke laut. Sedangkan kondisinya sekitar 50% masih utuh. Pemugaran masih diprioritaskan di Neira yakni Benteng VOC Belgica dan Nassau.

Sepanjang mata memandang sepanjang itu pula tampak pohon kenari (walnut) yang berumur seratusan tahun dengan ciri menjulang tinggi dan berbatang besar. Disamping itu di pulau ini banyak dijumpai pohon pala dan cengkeh. Pantas aja pulau² di kawasan Maluku ini menjadi rebutan para penjajah untuk mengeruk berbagai rempah yang berkualitas nomor satu di dunia. Jenis rempah yang lain yakni kayu manis banyak dihasilkan di Pulau Api.

Sejak dulu ada aturan di Bandaneira, bahwa sangat dilarang menebang pohon kenari. Resikonya bisa dipidana. Kecuali pohon itu roboh/tumbang sendiri ga masalah. Warga lokal siapa saja boleh ambil buah yang jatuh, siapa yang rajin memungutnya dialah yang beruntung. Kalau kenari hanya sekali panen pada waktunya, sedangkan buah pala setahun bisa tiga kali panen. Warga lokal rajin mengambil buah² jatuhan agar tidak keduluan dimakan babi hutan yang hidup liar. Hewan babi hutan terus berkembang karena tidak ada yang menangkap karena penduduk lokal hampir 100% Muslim sehingga sama sekali tidak berminat menangkap babi apalagi mengkonsumsinya.

Sekilas tentang sapaan, orang Maluku sering menggunakan kata 'ale' atau 'ose' atau 'ko' sebagai penanda kata 'kamu', tapi orang Banda Neira biasa menggunakan kata 'pane' untuk memanggil kamu/anda. Bersama Bang Aldin kami berdua mengelilingi Pulau Banda Besar sambil mampir ke spot² menarik. Di Banda aku sengaja ga beli buah pala atau kenari karena semuanya sudah kubeli di Neira. Aku cuma beli dua buah durian yang murah harganya (@7.5K). Durian dikupas, dimasukan ke dalam kantong plastik bening dan kubawa sampai hotel untuk disantap saat berbuka puasa.

Bandaneira ini hanya sebuah kecamatan. Berkat perjuangan seorang tokoh nasional asal Banda, Des Alwi maka beberapa kapal Pelni bisa singgah kesini. Saat ini sudah ada pemekaran kecamatan menjadi Kecamatan Banda dan Kecamatan Banda Kepulauan. Wilayah ini masuk dalam Kabupaten Maluku Tengah yang pusat pemerintahannya ada di Masohi Pulau Seram. Bentangannya terlalu jauh sehingga untuk mengurus apa² jadi sulit tidak efektif efesien.

BENTENG BELGICA di Pulau Neira tidak cuma satu tapi jutaan jumlahnya. Salah satunya mungkin ada di dompet anda. Benteng ini menjadi ikon utama Bandaneira yang diabadikan gambarnya pada uang kertas seribuan. Viewnya sangat luar biasa keindahannya. Semua tampak jelas lautan biru, Gunung Api, Pulau Banda, Pulau Karaka dan pesisir pantai Neira. Benteng Belgica berbentuk segi lima, di bawahnya terdapat Benteng Nassau. Kondisi Benteng Belgica saat ini tampak utuh, pernah dipugar agar terpelihara keasliannya.

Harga² kebutuhan pokok, makanan dan buah²an harganya cukup mahal. Kecuali apa² yang dihasilkan oleh Bandaneira sendiri seperti pala, kenari, ikan, dan kayu manis. Selama Bandaneira aku mencoba beberapa kulineran khas lokal seperti suami, ikan asap dan lainnya. Di Neira ada bandara kecil tapi saat ini hampir tidak ada lagi pesawat kecil yang landing dan take off di sana. Dalam setahun terdapat beberapa festival/acara skala besar sehingga hotel² full book dan berbagai jenis kapal banyak yang melego jangkar di sekitar sini.

Setelah KM NGGAPULU meninggalkan Bandaneira 5 hari lalu, dia akan mampir lagi ke Banda setelah dari Fak-Fak, Kaimana, Dobo dan Tual untuk meneruskan perjalanan kembali ke Ambon, Bau-Bau, Makassar, Surabaya dan berakhir di Jakarta. Tiket dari Bandaneira ke Surabaya sudah kubeli online pas di Ambon. KM NGGAPULU masuk Bandaneira dari Tual di waktu Shubuh dan bertolak ke Ambon sekitar pukul 7 pagi. Aku harus bersabar untuk sampai ke Surabaya, perlu 3 hari 3 malam lebih bersama kapal ini. Banyak cerita, pengalaman dan hikmah selama perjalanan dengan kapal laut dalam kondisi tetap berpuasa. Itu semua sebagai bekal kehidupan untuk diri sendiri dan menularkan kepada orang lain agar bermanfaat. Di lain kesempatan semoga aku bisa menjelajahi ke berbagai pelosok negeri dengan keadaan yang lebih baik. Aamiin.


❤️ Beautiful Indonesia


Copyright@by RUSDI ZULKARNAIN
email : alsatopass@gmail.com