Sebetulnya rencana ke Timor Leste sudah kurancang beberapa tahun yang lalu, tetapi selalu gagal untuk menginjakkan kaki di tanah Loro Sae itu. Pada saat-saat terakhir keberangkatan pun masih saja ada yang mengganjal, misalnya kabar jam keberangkatan AA yang digeser menjadi lebih awal. Dua minggu kemudian dikabari lagi, kali ini harinya yang berubah dan ditawari berangkat hari lain.
Aku putuskan me-refund sepasang tiket AA dari Surabaya tujuan Lombok karena kuatir berubah-ubah lagi. Padahal dari Lombok aku ingin memulai menjelajahi seluruh daerah NTB 'Nusa Tenggara Barat', NTT 'Nusa Tenggara Timur' dan TL 'Timor Leste'. Sayang seribu sayang, harapanku menjadi sirna gara-gara tiket AA yang bermasalah. Meski begitu, ada untungnya juga, semula isteriku ikut menemani nge-trip tapi dia mengundurkan diri. Tiket AA isteri yang bakalan hangus akhirnya berhasil di-refund semua.
Kali ini kubulatkan tekad 'harus berhasil' ke TL dan memilih penerbangan yang lebih simple dari Surabaya ke Kupang pake Citilink. Inilah yang mengawali penjelajahanku ke Pulau Rote, Pulau Timor dan Negara Tetangga TL selama 14 hari.
MAIN ROUTE TRIP
source : google dan telah di-edit |
Selain itu untuk mengunjungi berbagai obyek di setiap tempat, aku menggunakan kombinasi ojek, bemo atau berjalan kaki. Kalau tidak ingin perjalanan darat bisa pilih lewat udara dengan pesawat baling-baling Transnusa tujuan ke berbagai ibukota kabupaten di Pulau Timor. Hanya menggendong backpack (ransel) kecil berisi 3 potong batik tipis cepat kering, CD tisu, tissue basah dan handuk kanebo motor, aku siap melakukan perjalanan selama 14 hari saja.
UNIKNYA KOTA KUPANG. Ketika keluar dari Bandara Eltari di Penfui Kupang, kulihat bagian luar Bandara biasa-biasa saja. Bagian luar bangunan Bandara hanya sedikit saja ada perubahan, tampak masih seperti dulu. Namun di bagian dalam (interior), kaunter check in dan ruang tunggu sudah banyak perubahannya bikin betah calon penumpang. Gerai-gerai, layar monitor, pendingin ruangan, kursi ruang tunggu dan wifi menjadi suguhan yang nyaman buat para calon penumpang.
Panasnya Kota Kupang luar biasa. Orang Kupang aja selalu bilang kepanasan, apalagi aku yang datang dari Malang, sungguh lebih merasa kepanasan. Suasana kota menjadi kering kerontang kecoklatan ketika musim kemarau tiba. Di mana-mana terasa panas. Kipas angin, AC atau buka baju adalah solusi mengatasi rasa panas. Di kendaraan umum panasnya juga terasa, apalagi penumpangnya penuh dan musik hingar bingar di dalam angkot 'angkutan kota' atau di sini biasa disebut bemo, suasananya bertambah panas.
Bukan bemo kalau tidak ada hingar bingar musik di dalamnya. Tambahan aksesori di sana sini plus perangkat audio, bemo tampak lebih hidup semarak. Mengapa bemonya bagus-bagus ? Karena hampir semuanya dikelola anak-anak muda, jadi ini selera anak muda. Kalau bemo tidak keren, calon penumpang nggak ada yang mau naik. Suguhan musik yang dianggap membawa semangat anak muda terus diputar, 'Musik Koplo Modern' dan lagu-lagu bertema cinta dalam bahasa lokal bakalan bikin kangen ingin coba lagi. Bemo di sini ada kondekturnya yang bertugas mencari penumpang dan menerima uang pembayaran penumpang.
Rute bemo kebanyakan memutari bagian dalam atau bagian luar kota. Rutenya memutar, jadi terus melewati tempat yang sama dan tidak perlu kuatir kesasar dalam jurusan tertentu. Uniknya, meski sudah berada di dalam Kota Kupang, kondektur sering meneriakan kata, "Kupang .... Kupang." Cara memberitahu sopir untuk berhenti : uang logam diketuk-ketukan pada bodi bemo, tepuk tangan atau menctak-ctak bunyi mulut. Sebelumnya aku bingung, kok sudah di Kupang mereka tetap meneriakan Kupang. Selidik punya selidik, ternyata 'Kupang' itu adalah suatu kawasan dekat pantai yang merupakan awal mula Kota Kupang Lama sebelum pengembangan. Atau sering juga disebut 'terminal'.
Jurusan bemo ditandai dengan nomor, seperti nomor 2, 6, 7, 10 atau 27. Mereka biasa menyebutnya 'Lampu 2', 'Lampu 6' atau 'Lampu XX'. Khusus ke kabupaten, jurusannya ditulis di muka bemo, contohnya Kupang - Noelbaki, Kupang - Bolok atau lainnya. Naik bemo rata-rata ongkosnya 3K. Berapa pun uang besar yang kita berikan, kondektur hanya akan memotong tepat 3K saja. Enak dan puas jadi penumpang kalau kru transportasi umum jujur seperti itu, karena ada juga di bagian lain negeri ini yang tidak seperti itu.
Bemo jurusan Kupang - Tenau (Pelabuhan Kapal Cepat) atau Kupang - Bolok (Pelabuhan Ferry) sedikit berbeda taripnya, karena mereka harus menyimpang dari jalurnya. Kalau hanya sampai per-tigaan (sering disebut 'cabang') ongkosnya tetap 3K. Tapi kalau sampai pelabuhan harus punya kesepakatan harga dari awal. Karena kalau diam saja, mereka bisa menarik 10K - 20K. Tidak ada salahnya memilih bemo untuk mengelilingi Kota Kupang. Sayangnya, kursi bemo sedikit lebih tinggi, jadi untuk melihat keluar harus menunduk. Solusinya, lebih baik pilih duduk di samping sopir agar bisa bebas melihat pemandangan.
Bagaimana masyarakat Kupang ? aku senang melihat orang Kupang yang ramping-ramping, bukan berarti mereka kurus. Umumnya berkulit sedikit gelap karena cuacanya yang panas. Yang aku senang lainnya dari masyarakat Nusa Tenggara Timur khususnya Kupang adalah keramahannya, banyak yang jujur, ringan tangan membantu orang lain. Tampang boleh sedikit sangar tapi siapa sangka mereka lembut hatinya. Mau tau model rambut pemudanya ? semuanya dipotong menurut trend pemuda masa kini. Gaya potongan rambut pemuda di Pulau Timor mengalahkan trend rambut ibukota Jakarta. Kalau nggak percaya silakan buktikan sendiri.
Anak-anak mudanya aku biasa panggil adik. Kalau sudah cukup dewasa, agar lebih akrab aku panggil kakak. Untuk yang lebih tua dariku, yang laki-laki aku panggil om dan yang perempuan aku panggil tante.
Perkembangan kotanya sangat pesat. Kini sudah ada dua Hypermart, Matahari dan Rumah Sakit Siloam. Yang bikin kaget pendatang baru adalah harga barang-barang jauh lebih mahal dibanding dengan Jawa. Sebut saja misalnya sebotol air kemasan ukuran kecil 600 ml harganya sampai 5K dan yang besar 7K atau ukuran galon besar dua kali lipat harganya. Harga buah-buahan sangat mahal kecuali jambu, jagung dan jeruk saja yang tampak murah. Rambutan, buah naga atau melon sangat mahal harganya. Makanan jadi (kuliner) juga lebih mahal, di Kampung Solor harga ikan bakar plus nasi 35K, ayam plus nasi 25K dan es juice 10K. Harga barang lainnya juga masih lebih mahal dari Jawa.
Moda transportasi umumnya pake bemo, ojek dan bus untuk jarak jauh. Ojek dipatok mulai 5K dan mudah didapat karena mereka terus bergerak di jalan-jalan sambil menawarkan, "Ojek ... Ojek ..." Aku sempat main ke Terminal bus antar kota 'Oesapa', suasananya sepi, hanya sedikit bus-bus yang ada di situ. Bus jarang mau masuk ke terminal. Mereka lebih sering ada di 'terminal bayangan' dan berkeliling di dalam kota mencari calon penumpang. Terminal Oesapa tepat berada di seberang Taman Nostalgia 'Tamnos' dan dekat dengan Monumen Gong Perdamaian. Bayar belakangan adalah cara umum dilakukan ketika mau turun dari bemo, bus atau ojek.
Andai saja Terminal Oesapa ini ramai, tentu roda perekonomian sekitar lebih semarak. Ojek, kedai dan bermacam usaha bisa berkembang setiap hari. Calon penumpang juga lebih mudah memilih bus karena semua berkumpul di satu titik. Di sisi terminal ada kedai makan yang menjual berbagai macam menu. Para kru angkutan banyak yang makan di sini. Harganya cukup murah, kisaran 15K. Sepasang ibu bapak adalah pemiliknya yang berasal dari Kota Bangkalan, Madura.
JELAJAH SEKITAR KUPANG Ada apa aja di Kupang ? disamping bisa menyaksikan langsung pola hidup masyarakat Kupang, aku juga sempatkan datang ke tempat-tempat yang menarik seperti Taman Nostalgia 'Tamnos', Monumen Gong Perdamaian, beberapa obyek yang menjadi primadona masyarakat Pantai Lasiana, Pantai Ketapang, Pantai Kota Kupang Lama, Masjid Raya, Pusat kuliner Kampung Solor, Pusat Perniagaan Kuanino, Air terjun Oenesu dan Gua kristal yang berada di Kabupaten Kupang.
Khusus ke Air terjun tingkat tiga Oenesu, aku 'sewa ojek' pp plus Gua kristal (5oK). Diantar oleh Adik Lasi dengan sepeda motor ber-cc cukup tinggi agar lebih mudah melalui jalanan yang sedikit rusak. Jalanan menanjak sampai ke lokasi menjadi suguhan gratis luar biasa. Bukan itu saja, melihat pagar alami dan artistik dari batuan karang yang disusun rapi menjadi pemandangan langka yang hampir ada di setiap rumah. Tugu-tugu salib (@ 3 buah) ada di setiap rayon wilayah Bolok. Menurut penuturan Adik Lasi di Bolok jumlah patung ini ada 18 buah.
Kembali dari Air terjun Oenesu, kami memilih jalan berbeda menuju Gua kristal. Lain lagi dengan dengan Oenesu, Gua Kristal sama sekali belum ada sentuhan dari pemerintah. Tanda arah menuju ke sana pun tidak ada. Hanya ada bekas jalan setapak yang bisa membawa kami menuju gua ini. Mulut gua yang hanya selebar daun pintu rumah itu merupakan pintu masuk menuju ruang gua yang lebih besar dengan kedalaman sekitar 20 meter. Gua yang dibungkus hamparan batu karang suasananya gelap gulita kecuali di sekitar mulut gua. Diperlukan senter atau head lamp untuk masuk lebih dalam ke dasar gua. Kawanan kalelawar beterbangan di dalam gua. Di dasar gua ada air yang mengalir dan dimungkinkan mandi atau berenang di sana. Untuk menuju dasar gua, kusarankan jangan sendirian dan ke sini lebih baik pagi hari, siang atau jauh sebelum senja tiba.
Andai saja kedua obyek wisata ini dikelola profesional melibatkan warga setempat, khususnya Gua Kristal yang belum disentuh pemerintah, bukan tidak mungkin pendapatan asli daerah akan meningkat. Secara lebih luas wisata Air terjun Oenesu, Gua kristal dan Pantai Tablolong bisa dijadikan satu paket destinasi wisata di Kabupaten Kupang.
PENGINAPAN DI KUPANG. Hotel kelas penginapan biasa atau berbintang banyak tersebar di Kota Kupang. Hotel Aston, Hotel Swiss Bellinn Kristal adalah salah satu hotel bintang dan terdapat hotel-hotel bintang di bawahnya.
Sebagai traveler murah, aku hanya bisa memilih kelas penginapan rakyat, yaitu di Lavalon letaknya di Jalan Sumatera. Sekamar ada dua bed single, kamar mandi di luar plus sarapan snack hanya 55K, kalau yang dorm 40K. Murah meriah dengan suasana seperti homestay dan letaknya yang sangat strategis. Lavalon ada dua lokasi, di dekat Bank Danamon (sisi selatan Jl. Sumatera) dan yang satunya lagi di sisi utara Jl. Sumatera. Keduanya boleh dibilang di pinggir Pantai Ketapang Satu yang sunset-nya luar biasa indah. Banyak bemo yang lewat sini, dekat dengan kantor bank, Kampung Solor (pusat kuliner di malam hari) berjarak hanya 300 meter dari Lavalon dan banyak kedai di sekitar sini.
NYEBRANG KE PULAU ROTE. Sementara cukup dua malam saja stay di Kota Kupang. Saatnya menuju Pulau Rote dengan ferry dari Pelabuhan Bolok. Menuju Rote ada dua cara umum yang bisa ditempuh, pertama dengan ferry lambat ASDP (ekonomi dari Bolok 58K) dari Pelabuhan Bolok dan yang kedua dengan ferry cepat 'Ekspress Bahari' (tiket paling murah 160K) dari Pelabuhan Tenau. Ferry lambat tiketnya 54K (harga dari Rote) waktu tempuh ke Pantai Baru 4 jam-an dan Ekspress Bahari hanya 1 1/2 jam saja dan merapatnya di Pelabuhan Ba'a, Ibukota Kabupaten Rote. Selain dengan moda transportasi laut, bisa juga lewat udara. Dari Kupang, pesawat baling-baling melayani penerbangan 2 x seminggu.
Tepat pukul 6 pagi beta naik bemo menuju Terminal Kupang. Trus sambung bemo lagi ke Bolok. Karena masih pagi dan penumpangnya hanya beta, terpaksa harus nego harga. Beta dapat harga 10K hanya sampai cabang. Dari situ beta berjalan kaki sampai pelabuhan. Dari cabang jaraknya sekitar 400 meter saja. Menuju jalan masuk ke Pelabuhan beta beli air kemasan 600 ml, kali ini dapat harga yang paling murah, 3K.
Beli tiket di loket, dapat yang VIP taripnya 65K, kalau ekonomi hanya 58K atau sepeda motor plus penumpang 116K. Ferry penuh sesak, penumpangnya full. di dek bawah banyak sepeda motor, mobil biasa dan truk yang berisi aneka barang bawaan dari Kupang. Tepat pukul 8.30 pagi ferry meninggalkan Bolok menuju Pantai Baru, Rote. Selama perjalanan tidak ada gelombang laut yang ekstrim, sehingga ferry tiba sesuai jadwal berlayar selama 3 jam 30 menit.
Dalam perjalanan, aku bertemu kru Trans 7 yang akan liputan di Pulau Rote. Perbincangan dan senda gurau di atas ferry tersebut membuat perjalananku terasa singkat. Aku bertemu dengan Host 'Jejak si Gundul' lengkap dengan penutup kepalanya 'bandana'. Ketika ferry merapat, teman seperjalananku yang lain, Om kris memintaku cepat turun untuk naik truk bersama sopir dan kondektur yang sudah menunggu di dek bawah.
NEMBERALA - ROTE. Alhamdulillah, sampai juga aku di daerah paling selatan Nusantara. Truk meluncur meninggalkan Pantai Baru menuju lika liku jalan dengan suguhan alam indah Pulau Rote menuju Ba'a dan terakhir di Nemberala. Perjalanan darat dari Pantai Baru ke Pantai Nemberala sekitar dua jam. Setelah melewati Ba'a truk masih berjalan lancar, namun satu jam menjelang tiba di Nemberala tepatnya di sekitar Desa Batutua Rote Barat Daya, ban truk kempes. Truk tidak bisa dipaksa meneruskan sisa perjalanan. Kebetulan truk bisa berhenti dekat sebuah warung yang ada tambal ban-nya. Namun apa mau dikata, peralatan tambal ban semua tersedia tapi tukang tambalnya yang tidak ada. Terpaksa dengan susah panyah kami membuka satu persatu baut roda belakang truk. Lalu membuka, melepas, menjahit robekan dan menambalnya dengan lem. Proses ini memakan waktu hingga dua jam. Semula perkiraan truk akan tiba di Nemberala sekitar pukul 3 petang, akhirnya molor hingga menjelang maghrib. Bukan karena naik truk gratis, aku sukarela membantu kru truk agar perjalanan menjadi lancar.
Truk memasuki perbatasan Nemberala, sebagian barang pesanan ekpedisi diturunkan satu persatu. Akhirnya aku sampai juga di sebuah penginapan bernama Hotel Talentamas milik Pak Thomas. Aku turun dan menginap di situ. Penginapan yang berjarak 50 meteran saja dari bibir pantai suasananya sepi, yang terdengar hanyalah deburan ombak Pantai Nemberala.
Untung saja di penginapan milik Pak Thomas ini masih ada 'tersisa' satu tamu yang menempati salah satu kamar, dialah Mahmud karyawan salah satu bank di Kupang yang sedang menikmati liburannya di Nemberala. Mas Mahmud asal Pasuruan ini menjadi teman ngobrol dan jelajah singkat Pantai Nemberala. Kalau saja tidak ada Mas Mahmud tentu aku cuma sendirian di situ hingga esok.
Sekilas penginapan Pak Thomas. Lokasinya hanya beberapa puluh meter saja ke tepi pantai. Kamar-kamarnya ada di kiri dan kanan halaman belakang rumah induk yang bernuansa etnik atap rumbia, pohon kamboja dan pagar dari tumpukan batu karang yang disusun rapi. Harga per malam 200K termasuk sarapan plus dua kali makan siang dan malam. Kamarnya ada kelambu anti nyamuk, kamar mandi di dalam dan kipas angin yang bunyinya cukup mengganggu telinga. Yang masak Mbok Made asal Bali, dia adalah anak menantu Pak Thomas sendiri. Jenis masakannya bisa di-request sesuai keinginan kita asal tidak terlalu neko-neko karena di sini bahan bakunya sangat terbatas. Yang paling aku senang adalah sarapannya, yaitu bakpau isi kacang. Makan dua biji aja udah bikin perut kenyang. Rupanya, bakpao-nya Mbok Made sering dipesan oleh bule-bule yang tinggal di sekitar situ, mereka sering menyebutnya donat.
Pada malam hari, suasana semakin sepi. Aku hanya bisa ngobrol dengan Mas Mahmud sampai kuberanjak tidur. Esok paginya, aku jalan bersama menelusuri pantai dan blusukan ke rumah-rumah penduduk lokal. Sayangnya, Mas Mahmud pada pukul 8 pagi sudah harus check out menuju Ba'a dan kembali ke Kupang dengan Kapal Cepat Ekspress Bahari. Tinggal aku sendirian di penginapan, waktu aku efesienkan dengan menelusuri dan menikmati kembali Pantai Nemberala. Kemudian pinjam sepeda kayuh menjelajahi jalanan desa.
Pantai Nemberala dianggap sebagai surga para surfer dari mancanegara. Oleh sebab itu mereka rela sengaja datang jauh-jauh hanya untuk surfing. Biasanya mereka datang dari Bali ke Kupang dan mencari penerbangan yang konek ke Rote, di Nemberala sehari dua hari mereka kembali lagi ke Bali. Saat ini di pinggiran Pantai Nemberala tumbuh hotel-hotel baru, resort, resto, vila dan bungalow. Rata-rata pemiliknya orang asing. Harga per malam paling murah berkisar 500K.
Hal lain yang ada di Rote dan Pulau Timor, kuburan ada di halaman rumah masing-masing. Jadi bukan dimakamkan di pekuburan umum. Hewan peliharaan bukan saja anjing, namun babi berseliweran ke sana ke mari mencari makan. Khusus di Rote banyak kambing, yang kotorannya sangat mengganggu kenyamanan pengunjung. 'Ranjau' ini tersebar di sepanjang aspal jalanan. Bukan itu saja, listrik di sini juga menjadi masalah. Layanan listrik hanya hidup mulai pukul 6 petang hingga pukul 7 pagi saja, setelah itu mati tidak ada layanan lagi. Begitu setiap hari, kalau listri ingin hidup terus harus dikombinasi dengan genset.
Hampir tidak ada angkutan umum ke Nemberala, kecuali mobil sewaan atau ojek aja yang ada. Sekarang jalan menuju ke sana sedang dilebarkan dan jalur listrik sedang dikerjakan. Mungkin sebentar lagi semuanya bakal rampung. Ada kapal besar Pelni 'AWU' yang masuk Ba'a dua minggu sekali, rutenya mulai Surabaya, Bali, sebagian Nusa Tenggara Barat dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Kapal Pelni ini sangat membantu masyarakat Rote yang banyak merantau ke kota lain.
Buat para pelancong yang ingin menyendiri di tempat yang tenang nan sepi, di sini sangat cocok tempatnya. Pantainya cukup panjang, semua kelihatan indah setelah pukul 8 pagi karena airnya sudah pasang. Kalau sebelum jam tersebut, pantai masih surut dan kelihatan sedikit kotor karena akar-akar tanaman laut tampak bermunculan ke permukaan. Rasanya sehari sudah cukup menjelajahi Pantai Nemberala, kecuali kalau ada tambahan acara surfing maka waktunya perlu ditambah sehari atau dua hari lagi. Jangan takut kesasar di sini, jalannya hanya ada satu di sepanjang pesisir pantai.
BA'A IBUKOTA KABUPATEN ROTE NDAO. Rencanaku semula stay dua hari di sini berubah menjadi hanya sehari saja, karena penjelajahan sudah kuanggap cukup. Sekitar pukul satu siang, aku sewa ojek ke Ba'a (100K). Menuju Ba'a aku minta pengendara ojek lewat Pantai Boa yang mempunyai keindahan pantai yang setara dengan Nemberala. Dalam satu jam aku sudah tiba di Ba'a, Ibukota Kabupaten Rote Ndao dan memilih Hotel Grace yang lokasinya di pinggir pantai (150K).
Yang menyolok di Ba'a adalah mercu-suar-nya yang menjulang tinggi. Bangunan itu ada di area Pelabuhan Ba'a. Selain Kapal Cepat Ekspress Bahari, ada Kapal Pelni AWU yang singgah di pelabuhan ini. Hotel Grace hanya salah satu dari sedikit hotel yang ada di Ba'a. Fasilitas Hotel Grace, TV, AC, breakfast dan kamar mandi di dalam. Dari depan hotel ini terdapat bemo yang lewat melayani beberapa rute di Rote. Ada Masjid Al Ikhwan yang bersebelahan dengan gereja di depan lapangan (alun-alun) Ba'a. Rumah Raja Rote dan makamnya juga ada di depan alun-alun. Terdapat Masjid tua 'An Nur' yang dibangun sejak tahun 1928 dan merupakan salah satu obyek yang dilindungi Pemda Rote. Aku sempat mengunjungi masjid ini dan berkenalan dengan Takmir-nya kemudian memberi hadiah sebuah sarung untuknya. Ya begitulah suasana kota kecil di pedesaan sebuah kabupaten di Nusa Tenggara Timur.
Jalan bolak balik sekitaran Ba'a, bagi orang setempat gampang sekali mendeteksi dia itu orang lokal atau pendatang. Blusukan ke alun-alun, Rumah Raja Rote, masjid tua, pasar, tenda kuliner dan mercu suar bikin badan segar berkeringat. Meski berada di daerah terpencil yang jauh dari keramaian, untuk berkomunikasi kini sudah sangat mudah. Dengan satu gadget handphone semuanya bisa teratasi. Sinyal-sinyal kuat dari berbagai operator selular sudah menjangkau seantero nusantara, termasuk di Rote.
BALIK ROTE to KUPANG. Pagi-pagi aku sudah bangun menikmati view Pantai Ba'a dan pergi sarapan nasi kuning di depan Masjid An Nur. Cukup membayar 10K, sepiring nasi kuning plus lauk dan minumnya sudah bisa menjadi energi baru hari ini. Sekarang saatnya siap-siap menuju Pantai Baru kembali ke Kupang. Aku sudah booking pada anaknya Takmir masjid untuk mengantarkanku dengan sepeda motor tujuan Pelabuhan Ferry Pantai Baru (50K). Di tengah perjalanan kami distop razia polisi. Rupanya, adik ini tidak bawa SIM karena SIMnya pernah ditahan di Lombok dan urusannya belum tuntas sampai sekarang. Apalagi motor yang dibawa ber-plat 'EA' (Plat nomor Sumbawa) bukan 'DH' (Plat nomor NTT), surat tilang meluncur dan diterima si adik ini, Tadinya, motor akan ditahan tapi aku turun tangan memohon baik-baik dibatalkan atau ditunda. Motor tersebut dipakai untuk mengantarkanku ke pelabuhan mengejar ferry yang sebentar lagi akan berangkat. Alhamdulillah, permohonan dikabulkan hingga aku bisa sampai di Pantai Baru. Aturan lalu lintas khususnya di Kupang dan Rote sangat ketat, banyak razia digelar untuk menjaring pengendara tanpa dokumen, kelengkapan kendaraan atau helm. Semoga razia ini semata-mata untuk menegakkan disiplin berlalu lintas.
Buru-buru beli tiket ferry kelas ekonomi di loket dengan menulis nama dan umur, dapat harga 54K. Calon penumpang penuh sesak, didominasi oleh pengendara sepeda motor, truk dan mobil pribadi. Banyak calon penumpang yang membawa air gula aren dalam jerigen, bawa karung berisi beras dan jagung. Mereka hampir semuanya bekerja merantau atau sekolah di Kupang. Ferry berangkat tepat pukul 13 petang dan membawaku hanya dalam empat jam saja menuju Pelabuhan Bolok di Kupang. Kebetulan semuanya lancar karena cuacanya sedang bersahabat.
KUPANG to ATAMBUA. Aku berjalan keluar pelabuhan sampai ke percabangan jalan jaraknya sekitar 400 meter. Dari situ naik bemo menuju Terminal Kupang (3K) saja, kalau dari pelabuhan bisa ditarik 20K tergantung banyaknya barang yang dibawa. Dari terminal, aku lanjut dengan bemo menuju Oesapa, siap meluncur ke Atambua dengan bus. Tadinya aku mengira bemo akan mengantarkanku ke terminal atas Oesapa, tapi ternyata mereka membawaku ke terminal bayangan di Oesapa bawah. Di situ banyak bus dan mobil sewa berbaris di sepanjang jalan Oesapa. Aku memilih salah satu dari bus tersebut, menuju Atambua berangkat pukul 6 petang (80K).
Lika liku dan naik turun jalanan mengikuti kontur bumi Timor tidak begitu kurasakan. Aku harus bermalam di bus bukan di penginapan. Kan kita sama-sama tau, ini adalah salah satu cara untuk menghemat pengeluaran ketika traveling murah. Setelah berjalan beberapa jam, kami berhenti istirahat di salah satu rumah makan Padang sekitar Nikiniki di Soe.
Bus tiba di Atambua pukul 1 tengah malam, padahal biasanya ditempuh dalam 8 jam. Bus yang aku naiki adalah bus yang pertama masuk Atambua. Bus yang lain belum ada yang masuk karena biasanya berangkat dari Kupang lebih malam, jadi masuk Atambua rata-rata pukul 3 pagi.
Sopir bus bertanya kepadaku, "Bapak mau turun di mana ?" Turunkan beta di tempat yang paling aman, karena beta pagi ini mau lanjut ke Batas (maksudnya Mota'ain). Aku diturunkan di muka toko ponsel yang ada terasnya. Sopir bus menitipkanku pada dua orang satpam yang sedang tugas malam menjaga toko. Di situ ada juga beberapa orang yang sedang menonton TV. Aku dipersilakan istirahat di atas karpet yang sudah digelarnya. "Taruh dulu tas-nya Pak dan istirahat tidur di sini sampai datang pagi." Terima kasih kakak kataku menimpali tawarannya. Aku bercerita singkat maksud perjalananku ke Tanah Timor pada beberapa orang di situ dan mereka pun tau maksudnya.
Akhirnya, aku benar-benar tertidur pulas di emperan toko di bawah udara dingin yang menggigit. Adzan Shubuh terdengar, memutuskan mimpiku yang belum berakhir. Sambil mengamati arah datangnya suara adzan, aku bergegas pakai sarung menuju masjid meski harus meninggalkan backpack-ku di depan toko. Aku bilang permisi mau ke masjid.
MASUK TIMOR LESTE. Setelah Shalat Shubuh, aku mampir ke warung membeli dua bungkus rokok kesukaan kakak satpam. Dia menerima dan mengucapkan terima kasih atas pemberianku. Sekitar 30 meter dari toko tampak ada orang lain yang juga sedang menunggu datangnya pagi. Ia kuminta gabung bersama menunggu pagi. Dia adalah Maxi, anak muda asal TL yang hendak balik ke negaranya. Cahaya terang pagi itu mulai tampak, aku pamit dan berterima kasih pada satpam dan beberapa temannya. Sedangkan Maxi sudah pergi duluan ke Mota'ain dengan ojek (70K).
Aku berjalan sedikit menuju Pasar Baru, di situ ada warung yang menjual makanan buat sarapan. Ternyata pemiliknya orang Jawa asal Jombang. Aku sarapan dengan menu ikan dan minum segelas kopi (12K). Kemudian pemilik warung memberitauku bemo jurusan Mota'ain termasuk ongkosnya berapa. Jalan menuju ke Mota'ain cukup mulus, hanya ada satu titik longsor saja yang sedikit mengganggu perjalanan. Bemo berjalan dalam satu jam (30 Km), aku sudah sampai di cabang Mota'ain. Ongkosnya aku bayar 20K. Dari cabang ke pos imigrasi terpadu Mota'ain tidak terlalu jauh. Di situ aku bertemu lagi dengan Maxi dan setelah itu kami selalu bersama-sama melintasi perbatasan dua negara.
Pos Imigrasi terpadu milik RI belum buka karena belum pukul delapan. Saat itu di Atambua menunjukkan pukul 7.30 pagi, di Jawa masih pukul 6.30 dan hanya 100 meter dari situ (TL) sudah menunjukkan pukul 8.30. Kantor Imigrasi TL di Batugade bukanya menunggu Kantor Imigrasi RI buka. Sambil menunggu bukanya imigrasi, ada beberapa orang yang menawarkan jual-beli uang dollar.
Dari kejauhan tampak sudah ada petugas yang mulai beraktivitas di sana. Aku dan Maxi menuju ke pos. Pertama paspor-ku diperiksa oleh TNI, kemudian diperiksa oleh petugas imigrasi dan diperiksa lagi oleh TNI di pintu gerbang batas. Setelah itu kami jalan kaki 150 meteran ke gerbang batas negara TL. Di situ aku berfoto ria bersama Maxi karena pintu gerbangnya sangat menarik dan cukup megah.
Sebelum masuk Kantor Imigrasi TL, di depan pintu ada dua meja masing-masing ada petugas di kiri dan kanan. Mereka meminta paspor-ku kemudian dia mengisi form kedatangan. 'Sial' cuma ngisi gitu aja dia minta 1US Dollar 'USD'. Lalu beranjak ke meja di sebelah kanan, dia mengisi form pabean (bea cukai) dan hal yang sama dia minta 1 USD juga. Wah ... wah ... siapa yang ngajarin mereka berbuat begitu ? Bukan aku saja, Maxi juga membayar seperti aku. Belum masuk TL, 2 USD sudah melayang. Bayar VOA 'Visa on Arrival' di counter visa 30 USD, visa-nya cuma distempel besar saja. Kali ini sudah 32 USD melayang, dulu ketika 'masih RI' nggak perlu bayar apa-apa. TL sekarang sudah 'luar negeri'. Untuk membayar itu semua, USD pecahan 5, 10, 20 dan 50 sudah aku bawa dari tanah air.
KINI AKU BERADA DI BUMI LORO SAE 'BUMI MATAHARI TERBIT', Maxi masih bersama menemaniku, malah dia membelikanku minuman juice dalam botol yang harganya 2,5 USD. Sambil menunggu sepeda motornya yang belum dikembalikan oleh polisi perbatasan TL, ia terus menemaniku ngobrol semakin akrab. Sepeda motor tersebut ia titipkan beberapa hari selama ia pergi ke Kupang menengok isterinya. Setelah lama menunggu, temannya datang juga bersama sepeda motornya. Dan kami pun harus berpisah dengannya, dia duluan berangkat ke Dili dengan sepeda motor, karena malam nanti ia harus bertugas di rumah sakit nasional Dili. Terima kasih kawan atas segala kebaikanmu.
Kalau mau dibandingkan bangunan perbatasan sisi RI dengan TL memang jauh berbeda. Aku jujur mengakui TL lebih baik. Namun di RI tidak ada kutipan sama sekali. Dan jalanan menuju Border RI sangat jauh lebih baik dibanding TL yang rusak parah. Berikut adalah detail tahapan pemeriksaan dokumen imigrasi TL :
a. Isi form kedatangan (diisikan petugas), bayar 1 USD
b. Isi form pabean (diisikan petugas), bayar 1 USD
c. Bayar Visa on Arrival 'VOA', 30 USD
d. Scan detector barang bawaan
e. Pemeriksaan barang bawaan
f. Paspor diperiksa polisi TL (minta 10 USD, tapi aku tolak dengan sangat halus)
Tidak ada angkutan umum dari Border TL (Batugade) ke luar, kecuali ojek. Kalau ke TL lebih baik pakai travel dari Kupang atau dari Atambua jadi tidak perlu repot tunggu lama di batas. Pada saat itu, aku mengandalkan angkutan umum dari Border TL tapi tidak ada kecuali Timor Travel dan Paradise Travel. Biasanya kedua travel tersebut tiba di batas sekitar pukul 12 siang. Travel dari Dili hanya sampai batas TL dan travel dari Kupang juga hanya sampai batas RI. Travel dari Dili menunggu penumpang yang datang dari Kupang, sebaliknya travel dari Kupang menunggu penumpang yang datang dari Dili.
Kalau nggak mau capek, bisa coba lewat udara. Penerbangan Denpasar - Dili (pp) dilayani oleh Sriwijaya Air atau Air Timor (partnership Garuda). Cuma harga tiketnya lumayan mahal mulai 1,500K.
Aku pesan satu seat ke Dili pada sopir travel, kebetulan seat masih ada yang kosong. Tapi jangan coba-coba ambil cara ini di musim liburan atau hari raya, seat kosong susah didapat. Travel meninggalkan batas TL sekitar pukul 2 petang, melewati kontur jalanan yang naik turun dan berkelok-kelok. Jalanan ke Dili rusak parah, melewati jalan berbatu, berlubang, super berdebu dan jalan yang baik hanya sedikit saja. Travel menyusuri pinggiran pantai yang indah melalui Atabe, Maubara, Liquica dan Dili. Jalan sepanjang 100 Km sedang diperlebar. Bukit-bukit batu banyak yang dipangkas sehingga sedikit ngeri melihat batu-batu besar bergelantungan siap jatuh. Dari Batugade hingga Dili aku melihat rumah-rumah tradisional dari dedaunan yang sangat artistik. Meski rumahnya 'begitu' tapi teraliri listrik dan ada parabola-nya.
Hampir pukul 7 malam Timor Travel tiba di Dili, setiap penumpang diantar ke tujuannya masing-masing. Termasuk aku minta turun di EastTimor Backpackers di daerah Mandarin (Ave Almirante Americo Tomas). Aku bayar 10 USD pada sopir. Masuk hostel, ambil kamar dorm 12 USD per malam. Hostel yang biasa-biasa saja yang memiliki plus minusnya milik orang TL dan bersuami orang Australia. Hanya lokasinya yang cukup strategis dan murah sangat membantu penjelajahanku di Dili.
Dari hostel ke pantai jaraknya 350 meter dan ke Masjid An Nur sekitar 700 meter. Kalau ingin pakai taksi (semua warna kuning) cukup tunggu di depan saja, jumlahnya sangat banyak. Dan di depan hostel ada angkutan umum bemo yang beroperasi mulai pukul 6 pagi sampai pukul 7 malam, taripnya quarter dollar (1/4 USD atau 25 cent). Taksi kuning banyak berkeliaran di jalan-jalan dalam kota, sopir hanya membunyikan klakson untuk menawarkan calon penumpangnya. Taksi tidak pakai argometer, bayarnya tawar menawar paling murah mulai 1 USD. Posisi kemudi kendaraan roda empat ada di sebelah kanan atau 'stir kanan'. Disamping mobil biasa, terdapat banyak mobil mewah bersliweran di jalanan Kota Dili.
Ketika tiba di hostel, aku langsung mandi dan bergegas siap jelajahi Dili. Pertama melewati tepi pantai Dili (Avenida De Portugal) kemudian ke Masjid An Nur di Rua Campo Alor, trus makan di RM Padang di Rua Dos Martires De Patria atau disebut juga Rua Comoro. RM padang sudah tutup pada pukul 8 malam, tapi aku sedikit memaksa mohon bisa beli sebungkus saja. Aku bilang kalau aku ini pendatang baru di Dili dan belum sempat makan. Mungkin karena kasihan melihatku, dia bukan membungkus pesananku, malah aku dipersilakan makan di meja dalam kondisi RM yang tutup. Aku hanya makan dalam 15 menit saja, sepiring nasi plus ayam goreng dan air putih kubayar 1.5 USD atau sekitar 20 ribuan.
Setiap hari aku makan di sebelah utara Masjid An Nur di Kampung Alor (Rua Campo Alor). Di situ ada Mini Restorante Masakan Padang 75 milik mualaf Pak Syaifullah asli Timor Leste dan beristri asal Lamongan. Kalau pagi istrinya jualan nasi kuning dengan berbagai macam lauk, seporsi harganya 1 s/d 1.5 USD. Siang hari beliau jualan nasi padang yang laris manis dibeli pengunjung makan siang, seporsi harganya s/d 2USD. Di sini silakan ambil sendiri nasi dan lauknya, belakangan baru dihitung. Yang makan di restorante ini datang dari banyak kalangan, makanannya sudah dikenal enak dan cocok dilidah semua orang.
Makanan di tempat lain, misalnya semangkuk bakso harganya mulai 1 USD, juice alpokat gelas plastik tanggung harganya 1 USD, roti tawar 1,10 USD, Air mineral ukuran besar 0,50 USD
Ternyata masakan padangnya diracik dan dimasak oleh Pak Syaifullah sendiri, mulai memotong ayam, daging, membuat bumbu dan memasaknya hingga matang. Setelah itu isterinya yang menjual dan Pak Syaifullah santai mengobrol kesana kemari. Sebelum dan sesudah waktu shalat, aku sering ngobrol dengan Pak Syaifullah. Beliau bercerita kepadaku tentang riwayat sejarah TL dulu hingga kini. Tentang bahasa, yang dipakai sehari-hari ada 3 bahasa, Tetun (banyak dipakai di Pulau Timor), Portugis dan Indonesia.
Di sekitar depan masjid, setiap pagi dipenuhi orang jualan nasi kuning, gorengan dan minuman. Ya, semuanya harus dibayar dengan USD. Kereen .... beli gorengan atau naik bemo, bayarnya pake USD. Uang asli TL cuma koin nominalnya 5 cent, 10 cent, 25 cent dan yang terbesar 50 cent (1/2 USD).
Masjid An Nur yang bernuansa hijau berdiri megah berlantai dua. Halamannya luas, ada sekolahannya, yayasan, lembaga zakat, punya tempat wudhu dan kamar mandi yang bersih. Aku sempatkan bersilaturahim dengan Imam / Ketua Takmir Masjid An Nur, Ustadz Muslimin, Lc jebolan Madinah. Sehabis shalat, aku sengaja bertemu dengannya dan memberikan sarung dan sajadah sebagai ikatan tali persahabatan.
Di sepanjang jalan 'Rua Campo Alor' banyak orang berjualan pakaian. Lapak-lapak sudah buka mulai pagi dan tutup sekitar pukul 8 malam. Beraneka macam pakaian dijual di sini. Penjualnya banyak berasal dari Sulawesi selatan. Menuju ke kawasan Kampung Alor ini, aku biasa jalan kaki meski agak jauh tapi santai aja, pelan-pelan sampai juga.
Kota Dili yang panasnya sama dengan Atambua kini sedang berdebu. Kota ini berada di cekungan pantai dan bagian belakangnya di kelilingi bukit tinggi, seolah kotanya tidak bisa dikembangkan lagi. Pengembangannya lebih mungkin dilakukan ke bagian barat sampai Liquica yang masih longgar. Selain di Dili, suasana kehidupan masyarakatnya masih tradisional. Bahkan 'kekumuhan' masih tampak ada di mana-mana. Hanya ada sebuah plaza yang besar di tengah kota, yaitu Timor Plaza. Terminal bemo dan bus yang ada di ujung barat Dili, Tasi Tolu sangat sederhana seperti itu saja. Kendaraan umum berderet di tepi jalan menunggu penumpang. Bus jurusan Baucau, Maliana, Viqueque atau Lospalos ada di sini atau di beberapa titik dalam kota mencari penumpang. Di Tasi Tolu tampak ramai, selain sebagai terminal angkutan umum, di situ juga ada pasar dan toko-toko.
Di Dili tidak ada ojek, tapi di batas Batugade atau di daerah Oecussi ada ojek yang bayarnya pake dollar. Bemo nomor 'lampu 9' dan 'lampu 10' menjadi primadona masyarakat Dili. Bemo lampu 9 jurusannya Komoro - sepanjang pantai (Avenida De Portugal) - Avenida Governador Alves Aldeia - dan memutar kembali dekat Santa Cruz. Sedangkan lampu 10 mulai dari Terminal Tasi Tolu - jalan tengah kota - ujung jalan cabang ke Cristo rei (pp).
Pada jam-jam sibuk berangkat / pulang kantor, bemo-bemo selalu dipenuhi penumpang orang kerja dan anak sekolah. Tidak jarang penumpangnya sampai berdiri dua atau tiga orang di pintu bemo. Kalau keadaan sudah begini, masyarakat terpaksa pakai taksi.
Tidak semua harga barang dan jasa mahal harganya di negara TL. Hampir semua barang didatangkan dari luar TL untuk kebutuhan dalam negeri, BBM (dari Pertamina), air mineral (dari Pandaan-Pasuruan Jatim), sayuran, buah-buahan, pakaian dan makanan. Yang melimpah mungkin hanya ikan laut. Ternyata disini ada yang lebih murah dari RI, ayam potong, gula dan beras kelas satu harganya lebih murah dari RI. Enaknya di TL, meski transaksi jual beli pakai USD namun kondisi uang kertas USD bagaimana pun (lecek, sobek, kumel atau tidak mulus) tetap laku buat pembayaran. Berikut adalah sejarah singkat terbentuknya negara Timor Leste :
JELAJAH SINGKAT DILI. Menjelajahi TL khususnya Dili tidak begitu sulit dilakukan. Dari penginapanku ada beberapa obyek yang bisa dihampiri dengan jalan kaki, pakai bemo atau taksi. Ke Masjid An Nur dan pantai cukup jalan kaki. Di sepanjang pantai, banyak terdapat kantor besar, organisasi internasional atau kedutaan besar. Pelabuhan niaga, pelabuhan ferry, gereja tua dan kantor gubernur 'Palacio Do Governo' ada di dekat pantai Dili.
Kecuali ke Cristo Rei 'Patung Yesus' letaknya cukup jauh meski patungnya kelihatan dari pinggiran pantai Kota Dili. Ke situ bisa langsung pakai taksi atau bemo plus taksi. Yang aku lakukan adalah pake bemo plus sepeda motor yang aku rayu sebagai ojek. Naik bemo lampu 10 turun di cabang, di situ kebetulan ada anak muda yang sedang duduk-duduk santai. Aku bertanya apakah ada angkutan umum ke Cristo Rei ? Kemudian aku bilang, daripada aku bayar taksi lebih baik uang aku berikan pada kakak. Dia pun berfikir dan meng-iyakan tawaranku. Harga disepakati 4 USD (pp) dan dia menunggu di bawah sampai aku kembali dari atas bukit.
Menuju Cristo Rei perlu kesiapan phisik yang oke, karena naiknya lumayan tinggi. Pelan-pelan dan step by step adalah solusi yang baik menapaki anak tangga sampai atas. Tidak lupa aku bawa sebotol air kemasan. Ketika tiba di atas, barulah semua rasa capek terobati karena pemandangan yang luar biasa hadir di hadapanku. Di sisi kiri dan kanan view-nya semua sangat menakjubkan, hamparan garis pantai dan taman indah di bawah bukit Cristo Rei. Patung ini konon adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Brazil.
Selanjutnya aku ke Pekuburan Santa Cruz, yaitu tempat peristirahatan terakhir orang portugis yang dulu tinggal di TL. Kuburan yang mewah terbuat dari marmer, ada yang beratap, ukiran nama dan foto mendiang pada batu nisan yang kokoh. Di depan area pekuburan Santa Cruz terdapat Makam Pahlawan Seroja, korban perjuangan integrasi Timor Timur ke dalam NKRI. Menuju ke dua tempat ini cukup naik bemo lampu 9 kemudian jalan kaki sedikit.
Selepas sarapan, aku berjalan kaki menyusuri pantai Kota Dili & trotoar hingga gedung Palacio Do Governo peninggalan kolonial Portugis. Pemandangan yang indah tepi pantai, gedung-gedung kedutaan, organisasi internasional, kantor pemerintah, mercu suar, taman-taman indah, gereja dan pelabuhan laut. Tepat di depan Kantor Gubernur ada pohon besar dan monumen jam, di situlah '0 kilometer' nya Kota Dili. Berjalan di tepi pantai Kota Dili nyaman juga dilakukan pada sore hari menjelang hadirnya senja.
Di hari berikutnya, setelah olah raga di pantai aku menuju kantor pelabuhan beli tiket ferry untuk esok hari. Beli tiketnya di dalam sebuah ruang kantor yang sepi. Tiket ferry dari Dili ke Oecussi harganya 8 USD. Oecusse adalah wilayah TL lainnya yang terpisah dari 'induknya' seperti Pulau Atauro (Pulau Kambing). Wilayah daratannya terjepit oleh daratan RI. Oleh sebab itu, aku nggak mau keluar dari 'induknya' dan masuk lagi ke Oecusse, karena kalau begitu aku harus bayar Visa 2 x. Masuk Oecusse aku siasati lewat laut dengan ferry, berarti masih dari TL ke TL tanpa harus bayar Visa lagi.
DILI to OECUSSE. Ini adalah hari terakhir aku berada di Dili. Setelah check out hostel, aku menuju ke warungnya Pak Syaifullah dengan taksi (2 USD). Makan siang di situ lalu titip backpack sampai aku berangkat ke pelabuhan ferry. Shalat Dhuhur berjamaah di Masjid An Nur dan menunggu sampai Ashar di situ. Pukul 4 petang dengan taksi aku menuju pelabuhan ferry siap berlayar menuju Oecussi (2 USD).
Calon penumpang dan pengantar terus menerus berdatangan. Kami semua berdiri bersama barang bawaan di luar pagar pelabuhan. Kami semua calon penumpang belum boleh masuk. Namun demikian barang-barang bawaan sudah dioper-oper diantara kerumunan orang sampai melewati pagar pelabuhan. Jalanan menjadi macet karena pengaturan yang kurang baik, seharusnya disediakan ruang tunggu dalam gedung itu agar lebih menghargai customers.
Berikut adalah jadwal Ferry Berlin Nakroma :
Senin, Dili > Oecusse
Selasa, Oecusse > Dili
Rabu, Dili > Atauro (pp)
Kamis, Dili > Oecusse
Jum'at, Oecusse > Dili
Sabtu, Dili > Atauro (pp)
Minggu, libur
Ferry Berlin Nakroma berlayar ke Oecussi 2 x seminggu, senin dan kamis. Selain hari tersebut, ferry berlayar ke Pulau Atauro bagian lain negara TL. Pulau Atauro (Pulau Kambing) yang tampak samar-samar kelihatan dari pantai Kota Dili. Pintu pagar dibuka, kontan saja semua calon penumpang, pengantar dan pedagang merangsek masuk menuju ferry. Mobil biasa, truk, traktor dan sepeda motor sudah masuk duluan, kemudian disusul oleh penumpang. Barang bawaan yang besar dititipkan ke ruang bagasi kapal yang ada di dek bawah. Satu persatu penumpang menempati kursi dalam ferry. Ada juga penumpang yang lebih senang duduk bergerombol di anjungan ferry walau udara dan anginnya terasa dingin. Sayangnya di ruang duduk penumpang dibebaskan merokok, jadi udaranya bau asap nggak bersih.
Akhirnya, pada pukul 17.30 ferry meninggalkan Pelabuhan Dili menyusuri pesisir pantai selama 12 jam menuju Oecusse. Ferry ini seluruhnya diawaki oleh putra-putra RI kebanyakan berasal dari Jawa. Salah satu ABK menawarkan kamarnya untuk disewa, "Perlu kamar pak ?" Berapa mas ? tanyaku. "Enam puluh aja pak." Wes mas, aku duduk di sini aja. Aku sempat berpikir lagi, 60 itu 60 ribu atau 60 USD ?. Setelah aku konfirmasi pada yang lain ketika ferry sudah merapat di Oecussi, ternyata 60 USD. WoW ... lumayan kalau segitu udah dapat kamar hotel berbintang.
Duduk di kursi ferry selama 12 jam banyak yang nggak kuat, meski ada suguhan film di layar monitor yang berganti-ganti. Aku juga terpaksa harus geletak di lantai ferry di antara kursi-kursi penumpang. Akhirnya, dalam gelapnya shubuh pagi hari ferry merapat di Dermaga Mahata, Oecussi. Aku masih santai di dalam ferry memberi kesempatan para penumpang dan barang-barang keluar lebih dulu. Pas keadaan kelihatan sudah longgar, aku baru beranjak turun dari dek atas. Masih banyak penumpang ada yang turun dari ferry karena membawa barang yang cukup banyak. Seorang ibu tua tampak turun sambil menuntun anak babi hitam yang diikat tali.
Aku sama sekali nggak tau Oecusse, ikut air mengalir dan andalkan feeling aja. Di dermaga Pelabuhan Mahata gelap gulita, di jalan keluar yang tidak mulus dan berdebu, antara orang yang satu dengan yang lain tidak kelihatan. Hanya bayangan samar-samar dan suaranya saja yang bisa dideteksi. Bemo dan truk terbuka menjadi angkutan umum menuju desa kecil Tono, dari desa itu bisa ke Oesilo kemudian keluar TL menuju wilayah RI Kefamenanu. Tentu kalau dari pelabuhan ongkosnya lebih mahal, karena penumpang rata-rata membawa barang.
Aku berjalan dalam gelap sampai cabang jalan. Kebetulan aku berpapasan dengan pengendara motor, kemudian dia berhenti di depanku. Ternyata dia anak muda setingkat SMU yang menawarkan jasa ojek. Dia bertanya, "Bapak mau ke mana ?" Saya mau ke Tono lalu ke Oesilo trus ke Kefamenanu, jawabku. "Itu jauh pak, jalannya rusak dan Kantor Imigrasi Oesilo bukanya siang, lebih baik ke Wini lebih dekat". Dia menerangkan. Sebelumnya memang aku punya informasi keluar dari Oecusse bisa lewat Wini atau lewat Oesilo. Dalam satu menit aku ambil keputusan : ke WINI. Kalau lewat Wini, berarti itu sesuai rencanaku trus ke daerah-daerah utama di Pulau Timor seperti Atambua, Atapupu, Kefamenanu, Soe dan Kupang.
Dia minta 5 USD untuk ke batas Wini, aku tawar 4 USD dan dia setuju. Tapi kebetulan bensin motornya kosong sekali. Hari masih gelap, kami masuk ke dalam Kota Oecusse yang sangat sepi berlawanan arah ke Wini. Kios bensin eceran belum ada yang buka. Akhirnya kami ke pasar tradisional Oecusse, di situ mulai ada pedagang yang sedang menata barang jualannya. Kami duduk-duduk di situ sembari menunggu kios bensin buka. Hari sedikit demi sedikit beranjak terang. Alhamdulillah, sudah ada yang jualan bensin eceran.
Ini hikmah buatku, gara-gara bensinnya kosong tapi belum ada kios yang buka, aku jadi bisa lihat Oecusse lebih jelas. Kami menunggu sesaat sampai muncul matahari pagi. Kalau saja dia bensinnya penuh, aku tidak sempat tau bagaimana suasana Kota Oecussi karena tadi pasti langsung ke Wini dalam kegelapan pagi. Hari sudah cukup terang, aku minta untuk mengelilingi Oecusse dulu, di mana bangsa Portugis pertama kali menginjakkan kakinya sekitar 500 tahun yang lalu di sini. Kota utamanya hampir sudah tidak ada lagi, hanya beberapa bangunan agak besar saja yang masih ada dan sedikit rumah-rumah penduduk.
Kami singgah di 'Konsulat' RI di Oecusse, monumen di pinggir pantai yang sedang dihancurkan, bekas Kantor Bupati Ambeno yang teronggok sepi dan bekas bangunan-bangunan peninggalan kolonial Portugis. Tampak hanya ada sebuah hotel kecil di Oecusse. Kini bensin sudah diisi, kami siap meluncur ke Wini.
Jalanan ke Wini sampai perbatasan Sakato (TL) - Wini (RI) tidak ada yang mulus. Semuanya berbatu dan berlubang, sama dengan jalur Batugade sampai Dili. Semua di Oecusse sedang dilebarkan dan diperbaiki. Aku kuatir roda sepeda motor terjadi apa-apa, tapi alhamdulillah perjalanan lancar. Dalam 1 jam kami tiba di bibir Kantor Imigrasi Sakato. Aku bayar ojek dengan uang 10 USD, tapi nggak ada kembaliannya. Akhirnya aku tawarkan membayar dengan selembar uang 50K. Dia mau menerimanya, padahal kalau bayar 4 USD berarti 4 x 13.150 = 52.600.
Hampir sama dengan perbatasan Mota'ain - Batugade, kantor TL belum buka apalagi kantor RI. Aku say hello dan berbincang akrab pada petugas kepolisian perbatasan yang baru aplusan tugas. Semua petugas tersenyum menyambutku, aku pun menjadi senang tersenyum balik. Aku keluarkan kamera ponsel plus tongkat narsis 'tongsis'. Mereka mengerubutiku menonton yang aku bawa, tongsis. Ternyata mereka baru pernah lihat dan memintaku untuk mempraktekannya. "Ooo ... begitu caranya, berarti diganti batang kayu juga bisa ya kalau fungsinya hanya seperti itu ?", kata salah seorang petugas. Ponsel dan tongsis-ku ingin mereka beli, "Berapa pak biar saya beli keduanya, mumpung saya ada uang." Wah, saya sulit menjawabnya karena saya hanya bawa ini untuk traveling. Aku hanya bisa tersenyum dan meminta maaf padanya. "Kapan bapak ke mari lagi ? kalau ke sini bawa tongsis yang banyak ya, nanti saya yang beli." Katanya lagi.
Aku dipersilakan berkeliling melihat-lihat suasana Kantor Imigrasi yang bersih, rapi, hijau yang lebih mirip hotel itu. Aku permisi ke toilet, luar biasa semuanya bersih dan harum, betul-betul mirip toilet hotel berbintang. Om ... kantor ini lebih baik daripada kantor yang di Batugade. "Iya, memang begitu. Saya sangat disiplin memberi perintah pada petugas cleaning service agar selalu memperhatikan kebersihan setiap saat." Jawabnya.
Seperti teman sendiri, semua dokumen imigrasi lancar diperiksa dan distempel keluar. Hanya ada seorang petugas non polisi perbatasan yang memberiku secarik form departure untuk diisi. Meski aku isi sendiri, belakangan dia minta 1 USD. Karena suasananya lucu, aku nggak keberatan memberi 1 USD. Bukan dengan USD, malah aku memberikannya uang Rupiah 10K saja.
SAKATO TL to TIMOR TENGAH UTARA & BELU. Sekali lagi berfoto bersama, akhirnya aku benar-benar pamitan pada semua petugas dan beranjak menuju pos milik RI yang hanya berjarak 25 meter saja. Dari Sakato kebetulan hanya ada 5 orang saja yang melintas batas ke Wini, selain aku mereka adalah para ABK Kapal Berlin Nakroma yang tadi malam aku tumpangi. Para ABK asal Jawa berniat cuti selama sebulan setelah bertugas mengawaki ferry RI - TL.
Aku sekarang sudah berada di negeriku sendiri. Paspor sudah distempel dan sudah dicatat Pos TNI. Sebagai catatan baik di perbatasan Mota'ain maupun Wini, kondisi phisik Kantor Imigrasi TL lebih unggul dan baru. Tetapi jalan akses RI lebih unggul mulus daripada TL. Semoga sebentar lagi kondisi RI akan menyamai bahkan mengungguli negara tetangga TL.
Aku pakai jasa ojek menuju Cabang kota kecil Wini (5K). Di cabang ada warung makan milik orang Jawa yang nggak mau lagi kembali ke TL. Padahal katanya, banyak tanah dan kebun sudah ia miliki di sana tapi terpaksa harus ditinggalkan. Aku pesan ayam goreng lalapan dan es teh tawar (21K).
Kendaraan umum ke Atambua sudah tidak ada lagi. Aku terus mencari informasi supaya bisa cepat ke Atambua. Kebetulan ada pickup yang sedang isi bensin di dekat situ. Aku tanya pada penumpang yang duduk di belakang, mobil ini mau kemana ? tanyaku. "Mobil ini mau ke Pasar Kaubele dan ongkosnya 15K. Dari sana, bapak bisa melanjutkan dengan bemo ke Atambua". Aku ikut pickup tersebut dan duduk di belakang bersama barang-barang mereka. Meski duduk di belakang tapi menyenangkan bisa melihat bebas pemandangan pegunungan tinggi dan lautan di bawah sana yang sangat eksotik luar biasa. Aku pun tidak melewatkan momen ini dengan ber-selfie ria bersama ibu-ibu pedagang di atas pickup yang sedang berjalan dalam kecepatan cukup tinggi.
Mereka datang sehari sebelumnya dari desa yang jauh seperti Eban ke Pasar Kaubele untuk menyiapkan jualannya esok hari. Di Pasar Kaubele selalu ramai pada hari pasar (Sabtu), penjualnya datang dari mana-mana seperti Atapupu, Atambua atau dari Eban. Berbagai ternak, hasil laut dan pertanian dijual di pasar ini. Mereka harus bermalam di pasar dengan penerangan seadanya atau pakai lampu bantuan dari pemerintah daerah. Pedagang asal Sulawesi dari Atambua banyak mendominasi di pasar ini. Aku pun larut bersama pedagang menyiapkan dagangan untuk besok dan membeli setumpuk jambu biji yang harganya sangat murah (2K).
Ada mobil pickup dari Atambua masuk pasar dan membongkar muatannya. Mobil tersebut akan balik ke Atambua dan aku memilih ikut pickup ini (20K). Rute yang ditempuh : Kaubele - cabang Ponu - Maukita - Lakapehan - Atambua, selama 90 menit. Aku tiba di Atambua Ibukota Kabupaten Belu dan minta turun di Hotel Nusantara II. Harga kamar standar di hotel ini 175K, karena harganya tidak sesuai budget, aku beralih ke tempat lain pakai ojek, 'Hotel Liurai' namanya.
Ojek cuma 5K dan check in di hotel sederhana 'Liurai' Jl. Basuki Rachmat No. 2 (depan alun-alun) Kota Atambua (110K). Mandi dan cuci baju lalu taruh badan istirahat hingga sore. Jelajah singkat di sore hari Kota Atambua harus aku lakukan, meski hanya tau sekilas sudah lumayan buat pengetahuan baruku. Di sini sangat banyak ojek, untuk jarak dekat taripnya 5K dan untuk jarak jauh tergantung harga pasaran atau kesepakatan harga. Kebetulan aku masih ada sisa uang 50 USD, uang tersebut kutukar dengan Rupiah di salah satu money changer, dapat 50 x 12.900. Lumayan untuk amunisi baru sebesar 645K. Hanya hingga maghrib aku blusukan di Pasar Baru, kemudian makan lalapan plus 2 x minum juice sekitar 500 meter dari pasar (25K). Sedang enak-enaknya makan, listrik kota padam. Menurut cerita anak pemilik warung lalapan 'Heru Bajil', Atambua listriknya biasa padam seminggu 2X. Oh ...
Hanya semalam tidur di Atambua, pagi-pagi backpack sudah aku siapkan menuju destinasi berikutnya. Aku sarapan di depan Masjid Hidayatullah dekat Pasar Baru dan titip backpack di situ hingga menjelang siang. Dari Pasar Baru aku menuju Atapupu, sekitar 25 km dari Atambua. Kebetulan ada pickup pengangkut ikan yang akan balik ke Atapupu (20K).
Berhenti di Pantai Atapupu menyaksikan nelayan yang siap menjual tangkapannya dan dibawa ke Atambua. Ikan tembang, cakalang dan ikan lainnya adalah jenis ikan hasil tangkapan para nelayan. Ikan-ikan ditaruh pada ember-ember besar berisi potongan es batu. Dari kejauhan tampak kegiatan bongkar muat kapal di Pelabuhan Atapupu. Aku sempatkan main ke kampung nelayan yang sedang memperbaiki perahunya. Kami pun ber-selfie bareng mereka dengan penuh suka cita.
Sayang, pelayaran perintis dari Atapupu ke Kalabahi Alor baru ada 5 hari lagi. Sebenarnya ingin nyebrang ke Alor kalau good time. Pelayaran dari Atapupu ke Alor terbilang dekat, katanya hanya semalaman saja ketimbang dari Kupang sampai 18 jam lamanya. Kupikir ga pa pa, next time aja bisa jelajahi Flores. Dari Atapupu aku pakai ojek ke cabang jalan menuju Teluk Gurita. Mau ke situ tapi matahari sudah agak tinggi, kuatir hasil foto black light. Yang paling siip ke situ adalah pagi atau menjelang senja hari. Atas pertimbangan tersebut, aku skip destinasi ke Teluk Gurita.
Ojek melanjutkan perjalanannya ke Atambua (total 20K) dan berhenti di warung makan depan Masjid Hidayatullah untuk ambil backpack-ku. Pakai ojek lain, aku menuju terminal bayangan di Jalan Kofeu, ambil bus ke Kefamenanu 'Kefa'. Untuk ke Kefa sebaiknya ambil bus Atambua - Kefa jangan Atambua - Kupang. Sebab kalau ambil Atambua - Kupang, bus baru berangkat asal jumlah penumpangnya dianggap cukup untuk menutupi biaya bensin. Kalau begini urusannya bakalan nunggu lama sampai ada penumpang yang naik. Kadang-kadang mereka pura-pura berangkat, baru 20 meter lalu ngetem lagi. Memang diakui bahwa penumpang bus sekarang semakin sepi, salah satu sebabnya adalah jumlah bus semakin banyak.
Ya, aku menunggu bus Atambua - Kefa saja lebih cepat (30K). Perjalanan selama 2 jam melewati jalan berliku di atas pegunungan yang indah. Sampai di Kefa, baru kali ini aku lihat bus masuk terminal, biasanya terminal banyak yang sudah tidak berfungsi lagi. Terminal Kefa cukup ramai, bemo dan bus masuk terminal semua sehingga roda perekonomian kelihatan lebih hidup.
Tadinya aku memilih bermalam di Kefa Ibukota Kabupaten Timor Tengah Utara 'TTU', dan penjelajahan dilanjutkna esok pagi. Tetapi kendaraan umum ke Gunung Mutis tidak ada pada Hari Minggu. Kebetulan ada orang di terminal yang memberi informasi sebentar lagi ada bus yang berangkat ke Mutis, jurusannya : Kefa - Eban - Oelbinose - Naekake. Akhirnya aku ikut bus tersebut yang langsung berangkat meski penumpangnya hanya sedikit.
Bus berangkat pukul 4 petang. Perjalanannya sangat lancar hanya sampai Eban, setelah itu jalanan rusak parah. Bus benar-benar harus ber-off road bergoyang keras mengikuti musik koplo masa kini. Rasanya lebih cepat jalan kaki daripada naik bus ini. Semua penumpang maklum, pasrah atau sesekali ada yang menggerutu melewati jalanan rusak yang menyiksa ini. Musim kemarau aja kondisinya seperti itu, apalagi kalau musim hujan ? Ada seorang guru wanita asal Jawa yang mengajar pada sebuah SMU di Naekake di ujung sana, terpaksa berangkat Hari Sabtu karena Hari Minggu tidak ada kendaraan umum. Padahal ia baru mengajar Hari Senin lusa. Kami semua berharap dan memohon pada Pemerintah Daerah untuk memperbaiki ruas jalan ini. Daerah ini sangat penting, potensial dan sangat indah. Aku sebagai traveler jujur memuji seperti itu. Tolong Bapak / Ibu yang ada di Pemda TTU.
Bus berjalan dalam gelap, rasanya sudah tidak seperti naik bus lagi tapi serasa naik kuda. Akhirnya sekitar pukul 8 malam aku diturunkan di sebuah Pos TNI di tengah angin kencang yang menusuk sangat dingin di atas ketinggian Desa Oelbinose namanya. Ongkos kubayar pada sopir 30K. Aku mengetuk pintu sebuah bangunan milik TNI yang semuanya tertutup rapat karena anginya sangat kencang. Pintu dibuka dan mereka heran melihatku mau ngapain.
- CERITA BERSAMA TNI AKU SKIP KARENA DI SITU MARKAS PAMTAS TNI 'RI - TIMOR LESTE' -
Setelah semua alasan dikaji TNI, akhirnya aku diterima dan diperbolehkan menginap oleh rekan-rekan TNI yang sabar bertugas, displin dan baik hati (Ini kata salah satu rakyat lho). Aku disuguhi makan malam, pagi dan siang keesokan harinya. Hanya semalam dan sehari di situ. Tapi kami semua punya kenangan tersendiri yang mendalam dan lebih tau tugas TNI di lokasi terpencil memikul tugas yang berat. Aku hanya bisa berkata : Terima kasih TNI, aku telah ditolong dan diselamatkan dalam rasa sayang dan hormat sesama anak bangsa. Kalau tidak ada TNI dan pertolongan Allah SWT. mungkin aku sudah mati kedinginan. Bravo TNI !
Di Oelbinose hampir tidak ada sumber air. Air diambil dari Gunung Mutis yang instalasinya dibuat oleh TNI, tidak ada sinyal handphone 'hp' (ada sinyal hp TL dengan tanda 'R' roaming), jalanan rusak parah, angkutan umum 1 x sehari kecuali minggu tidak ada angkutan dan tidak ada jaringan listrik kecuali pakai genset. Itulah kondisi jalanan dari Eban ke Naekake. Meski begitu pemandangan mulai pagi, siang dan petang sangat indah. Hamparan pegunungan yang bertingkat hijau, hamparan bebatuan, hamparan rumput yang rata bak lapangan golf sangat menawan. Ditambah oleh kawanan kuda yang sedang memakan rumput, suasana bukan seperti sedang berada di negeri sendiri.
Tidak jauh dari Pos Pamtas TNI, terdapat bukit dan gua batu tempat ritual umat nasrani (katanya). Di daerah ini banyak kalajengking yang tidak segan-segan menyengat kami. Rumah bulat asli penduduk lokal yang terbuat dari daun ada beberapa buah di sekitar pos. Banyak babi berkeliaran di jalan, sedangkan pintu masuk ke halaman rumah tradisional ditutup dengan palang kayu yang menjadi kesepakatan adat setempat. Tampak dari kejauhan adalah batas geografis negara tetangga TL.
Sebenarnya aku tidak berencana ke sini, terus terang aku salah membaca panduan. Inginnya sih ke air terjun 7 tingkat dan Desa Fatumnasi, meski pun bisa saja lewat sini namun arahnya sudah jauh menyimpang. Eban dan Oelbinose berada di TTU sedangkan air terjun dan Fatumnasi berada di TTS. Ternyata semuanya membawa hikmah yang luar biasa, aku punya pengalaman baru, teman baru dan tau tempat baru.
Di Oelbinose hampir tidak ada sumber air. Air diambil dari Gunung Mutis yang instalasinya dibuat oleh TNI, tidak ada sinyal handphone 'hp' (ada sinyal hp TL dengan tanda 'R' roaming), jalanan rusak parah, angkutan umum 1 x sehari kecuali minggu tidak ada angkutan dan tidak ada jaringan listrik kecuali pakai genset. Itulah kondisi jalanan dari Eban ke Naekake. Meski begitu pemandangan mulai pagi, siang dan petang sangat indah. Hamparan pegunungan yang bertingkat hijau, hamparan bebatuan, hamparan rumput yang rata bak lapangan golf sangat menawan. Ditambah oleh kawanan kuda yang sedang memakan rumput, suasana bukan seperti sedang berada di negeri sendiri.
Tidak jauh dari Pos Pamtas TNI, terdapat bukit dan gua batu tempat ritual umat nasrani (katanya). Di daerah ini banyak kalajengking yang tidak segan-segan menyengat kami. Rumah bulat asli penduduk lokal yang terbuat dari daun ada beberapa buah di sekitar pos. Banyak babi berkeliaran di jalan, sedangkan pintu masuk ke halaman rumah tradisional ditutup dengan palang kayu yang menjadi kesepakatan adat setempat. Tampak dari kejauhan adalah batas geografis negara tetangga TL.
Sebenarnya aku tidak berencana ke sini, terus terang aku salah membaca panduan. Inginnya sih ke air terjun 7 tingkat dan Desa Fatumnasi, meski pun bisa saja lewat sini namun arahnya sudah jauh menyimpang. Eban dan Oelbinose berada di TTU sedangkan air terjun dan Fatumnasi berada di TTS. Ternyata semuanya membawa hikmah yang luar biasa, aku punya pengalaman baru, teman baru dan tau tempat baru.
Selepas tengah hari, aku diantar oleh rekan TNI ke Eban dengan motor trail. Melewati jalan yang sama ketika datang, perbedaannya datang pakai bus tapi kembalinya pakai sepeda motor. Karena jalannya naik turun, aku harus tetap pegangan erat agar tidak terus meluncur ke depan jok motor. Eban menjadi saksi bisu pelukan dan salam erat perpisahan sesama anak bangsa yang telah bersahabat meski baru beberapa saat di Oelbinose. Selamat bertugas Komandan.... Merdeka.
Kebetulan ada bemo satu-satunya yang hendak turun menuju Kefa. Turun di cabang dekat Masjid Kefa, perjalanan aku sambung dengan bus menuju Soe selama 2 jam (30K). Pukul 5 sore aku tiba di Soe, Ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan 'TTS' dan bermalam di Homestay milik keluarga Bapak Nope (Bupati Pertama Kabupaten TTS), namanya Nope's Homestay di Jalan Merpati (150K).
Aku tinggal di pavilion sebelah rumah induk. Pemilik homestay sangat ramah, segelas teh dengan gula terpisah disuguhkan ke kamarku. Kemudian esok paginya, sarapan roti bakar, kopi dan telur omlette sudah tersedia di kamar tamu rumah induk. Di situlah aku bertemu Om Nope pemilik homestay atau mantan promotor menghadirkan Mick Jagger di Pulau Timor. Luar biasa semangat Om Nope dalam memajukan pariwisata di Pulau Timor khususnya di TTS. Brosur dan CD sejarah destinasi obyek wisata TTS beliau berikan cuma-cuma. Terima kasih dan sukses buat Om Nope.
Ketika bangun pagi hari itu, hujan ringan dan kabut tebal menyeliputi Kota Soe. Semua kota berwarna abu-abu tertutup kabut. Hujan baru berhenti pukul 9 pagi. Aku bergegas keluar rumah untuk jelajah lagi. Backpack aku titipkan di rumah induk beserta kunci kamarku. Maksudnya kalau cuaca lebih bersahabat, aku akan perpanjang tinggal satu malam lagi di homestay Om Nope yang hawanya dingin seperti berada di Puncak.
Pertama, aku mampir ke Situs Benteng None di Nikiniki. Ke lokasi tersebut cukup pakai bemo 5K. Jalanan tanah ke Benteng None lengket di sandalku karena habis diguyur hujan. Lumayan jauh masuknya, sekitar 700 meter dari jalan raya. Hanya aku yang ke situ tidak ada pengunjung selain aku, kecuali ditemani pemuka adat yang rumahnya dekat situ.
Gerimis mulai turun, aku dan Yorhans buru-buru naik ke atas. Lumayan ngos-ngosan tanpa membawa air minum lagi. Ditunggu, gerimis hanya reda sedikit saja dan kami pun nekad kembali pulang dalam deraian hujan yang semakin deras. Jaket yang kubawa untuk menutupi kepala dan tubuhku menjadi basah. Aku langsung menuju ke homestay Om Nope untuk membayar dan mengambil backpack-ku. Terpaksa stay di Soe hanya semalam saja, karena hujan masih saja turun. Prediksiku esok hari juga bakalan sama seperti ini. Jadi rencanaku ke Fatumnasi terpaksa aku skip, percuma saja ingin melihat pemandangan indah tapi bakalan tidak bisa dilihat sama sekali karena diselimuti kabut tebal.
Kuputuskan lanjut ke Pantai Kolbano, untung masih ada bus dadakan menuju Nunkolo melewati Kolbano. Terima kasih Kakak Yorhans telah menemaniku ke air terjun Oehala. Meski dari Soe ke Kolbano hanya berjarak 80 km, tapi susah sekali aku menuju ke situ. Apa pasal, karena bus tersebut masuk dulu ke pool-nya. Yang dilakukan kru-nya adalah mencuci bus, mengganti ban bus dari ban bus yang lain. Sekitar 2 jam aku berada di pool. Bus mulai berangkat, kali ini angkut seng dan semen dari toko bahan bangunan. Selanjutnya angkut beberapa jerigen @30 L bensin dan minyak tanah yang ditaruh di dalam dan di atas bus. Kemudian menjemput penumpang dan masuk ke SPBU isi solar, ternyata solar habis. Bus berjalan lagi, kali ini lampu bus yang mati. Dan isi solar eceran di pinggir jalan, mengisinya memindahkan dulu dari jerigen besar ke jerigen 5 literan lalu jerigen satu persatu dituang ke dalam tangki bus. Belum lagi ada hal-hal lain yang memperlama tibanya aku di Kolbano. Dari Soe ke Kolbano ongkosnya 30K.
Hampir 6 jam lamanya, aku baru tiba di Kolbano. Pukul 9 malam kurang sedikit aku diturunkan di kedainya Om Robby yang berumur 35 an tahun. Kedainya menjual aneka barang kebutuhan sehari-hari. Om Robby sudah dipesanin kru bus agar membantuku mencari kamar kos-kosan untuk semalam saja. Saat itu juga Om Robby mengontak ibunya untuk menyiapkan 1 kamar bekas pekerja dermaga yang sedang cuti lama.
Tepat di depan dermaga Pantai Kolbano yang belum selesai, itu adalah rumah orang tua Om Robby. Di situ ada 4 kamar kos yang biasa disewa bulanan, tapi sekarang lagi kosong semuanya. Dinding kamar dari batako sangat sederhana, hanya ada 1 titik lampu yang diambil dari rumah induk, sebuah jendela triplek, tidak ada colokan listrik dan tidak ada kamar mandi. Aku membayar 100K, tapi Tante Robby hanya minta 50K saja. Aku bilang besok aja kembaliannya dan setelah itu aku sengaja melupakannya.
Sebelumnya di warung Om Robby aku beli 5 potong kue cucur buat sarapan esok pagi. Dan malam itu Tante Robby (Ibunya) menyiapkan makan malam yang sederhana dengan nasi putih campur kacang merah dan lauknya sayur tahu. Segelas kopi susu juga turut disuguhkan di atas meja teras rumahnya. Begitu juga esok harinya, segelas kopi susu dan pisang goreng panas sudah siap di meja.
Dari dalam kamar yang terdengar hanya suara deburan ombak keras kebetulan lagi musim ombak. Mataku pun terpejam bersama badan yang kelelahan tertidur sampai pagi. Pukul 5.30 pagi aku sudah berada di pinggiran Pantai Kolbano. Di situ sudah ada yang bekerja mengayak dan mengumpulkan batu-batu untuk pasokan ke Kupang lalu dikapalkan ke Jawa.
Biasanya pantai adalah hamparan pasir, namun pantai yang satu ini adalah hamparan batu warna warni yang bersih, ada milyaran batu jumlahnya. Terus terang aku baru pertama kali melihat pantai seperti ini. Meski pakai batik, aku tidak segan-segan langsung merebahkan diri di situ sambil mengagungkan Asma Allah tanda takjub atas ciptaanNya.
Sepanjang Pantai Kolbano adalah hamparan batu yang indah dan bersih. Di ujung timur terdapat batu besar dan gua di dalamnya. Ini adalah satu-satunya batu yang besar yang ada di situ. Keindahan pantai ini komplit menjadi satu, bebatuannya, ombaknya, perbukitannya dan view sunrise kemerahan yang luar biasa.
Tapi ada kekuatiranku tentang eksploitasi batu yang diambil terus menerus setiap hari dijual ke pihak lain. Batu-batu kerikil ukuran kecil dan sedang dihargai sangat murah per karung, kalau sudah sampai di Jawa menjadi berlipat-lipat harganya. Secara phisik, kini pantai sudah tidak landai lagi tapi sudah bertingkat, artinya jumlah bebatuan di situ sudah berkurang jumlahnya.
Tepat pukul 8 pagi sudah ada bus masuk di Kolbano menuju Kupang. Aku pun ikut bus tersebut. Sebetulnya sebelum kembali ke Kupang, aku ingin hampiri sebuah pantai lagi yaitu Pantai Oetune. Pantai dengan hamparan pasir sangat halus menyerupai padang pasir kecoklatan letaknya kira-kira antara cabang Batu Putih (Wilmina) - Pantai Kolbano.
Arah bus harus kembali lagi seperti arah datang tadi malam menuju jalan cabang Kupang - Wilmina (Batu Putih) - Soe. Perjalanan hampir 4 jam Kolbano - Kupang tergolong lancar melewati pemandangan indah pegunungan yang bertingkat-tingkat. Hal ini hanya sedikit surprise buatku karena yang seperti itu ada di tempat tinggalku. Ini baru sangat surprise bagi yang belum pernah melihatnya. Jika ingin ke Kolbano dari Kupang bisa pakai Bus Jurusan Kupang - Betun dengan waktu tempuh yang hampir sama, 4 jam.
Bus memasuki Kota Kupang di siang bolong. Aku turun di bundaran dekat Hypermart (25K) dan sambung Bemo Lampu 6 menuju Jalan Sumatra ke Penginapan Lavalon (3K). Mandi yang bersih dan menemui sahabatku asal Malang yang dinasnya di Kupang. Aku ditraktir makan siang dan diantar beli tiket buat balik ke Malang esok pagi. Malamnya diajak muter-muter dan menyantap Soto Surabaya yang sangat enak rasanya. Terima kasih sahabat, semoga selalu sukses bertugas di perantauan.
Sebelum mengakhiri kisah perjalananku ini, ada beberapa catatan utama yang ada di Belu, TTU, TTS dan Rote sbb :
- Jangan pernah takut traveling ke NTT.
- Orang NTT umumnya baik, ramah dan suka menolong.
- Yang tidak begitu suka hewan peliharaan anjing dan babi, ini sedikit mengganggu karena dua jenis hewan ini sering berkeliaran di mana-mana. Bukan itu saja, sapi dan kambing pun juga seperti itu, kotorannya bertebaran di mana-mana.
- Asal tau aja, masyarakat Timor gemar makan sirih seperti di Myanmar.
- Harga barang dan jasa lebih mahal, namun ditawarkan sesuai tarip yang tidak menjerat customer.
- Banyak tempat yang diawali 'OE', itu artinya 'AIR'.
- Jangan pingsan, karena keindahan dan budayanya indah luar biasa. Hhe
Sampai ketemu lagi di episod yang lain. Cheers
Copyright© by RUSDI ZULKARNAIN
email : alsatopass@gmail.com
No comments:
Post a Comment