Pukul tiga pagi, kubereskan barang
bawaan untuk berangkat ke Jepara hari ini. Pukul lima setelah Shubuh pergi ke
Pasar Karimun beli aneka kue @1.5K. Ibu penjual nasi campur yang aku beli
kemarin belum buka, begitu juga tukang bubur baru saja tiba bersamaan denganku
menuju pasar.
Sambungan cerita dari : http://seratusnegara.blogspot.co.id/2015/10/surga-dunia-karimun-jawa-2.html
MENINGGALKAN KARIMUN
Pagi ini, pinginnya makan bubur lagi,
tapi waktunya sudah mepet untuk persiapan beli tiket ferry dan jalan kaki ke
pelabuhan.
Uang tiket masing-masing 60K sudah
dikumpulkan dan ada teman seperjalanan yang berangkat lebih dulu ke pelabuhan.
Maksudnya agar pasti dapat tiket dan cari tempat (ngapling duluan) supaya bisa duduk berdekatan.
Ferry berangkat tepat pukul tujuh
pagi dan hari itu cuacanya pas bagus banget
dengan suhu 26°C dan nyaris tanpa gelombang yang berarti. Perjalanan ke
Jepara akan memakan waktu hingga lima jam.
Karena angin sepoi-sepoi, hanya rasa kantuk yang mulai mendera. Meski di depan
tempat duduk tersedia flat TV yang sedang menyiarkan berita.
Tidak terasa, aku sudah berlayar
setengah perjalanan dan tiba-tiba Mas Inung memberiku sekotak nasi isi lauk
steak ikan pemberian ibu homestay yang sudah menjadi langganannya. Kami makan
bersama dan menyambung cerita tentang pengalaman masing-masing.
Tepat lima jam aku berlayar
bersama ferry Siginjai yang merapat pukul dua belas siang. Aku harus Shalat Dhuhur
dulu jama qasar di mushala kecil pelabuhan. Kemudian say hello pada Mas Mulyadi
penjual sate ayam yang beberapa hari lalu baru aku kenal.
Beberapa tukang beca menawarkan
jasanya, tapi aku bilang ada yang jemput. Aku mencoba jalan kaki menuju
Terminal Bus Jepara di tengah terik panas matahari. Dari belakang ada yang
memanggilku, "Ayo mas sampai pertigaan lima ribu saja" ternyata pak
tua abang beca yang tadi di dalam pelabuhan menawarkan jasanya.
Kalau sekalian ke terminal berapa
pak ? "Ya sepuluh ribu mas" jawabnya. Aku iyakan tawarannya. Ternyata
jauh juga terminalnya.
JEPARA - SEMARANG - SLAWI
Aku langsung naik mini bus biasa ke Semarang (15K). Dalam dua jam sudah sampai. Dan meneruskan perjalanan lagi dengan Bus Patas Nusantara menuju Tegal (55K), dapat giliran berangkat yang pukul 16.30.
Aku kurang begitu nyaman dengan
kondisi Terminal Bus Terboyo yang kotor, semrawut, sering banjir ketika hujan
dan gelap di waktu malam. Berbeda dengan Terminal Bus Kota Solo atau Terminal
Bus Purwokerto yang notabene bukan Terminal di Ibukota Propinsi. Padahal banyak
destinasi yang dilayani dari terminal ini.
Bus Nusantara tiba di Tegal (turun
di Pacific) setelah lima jam perjalanan. Ambil angkot warna kuning jurusan Slawi,
tarip malam sopir minta 7.5K. Aku dijemput keponakan dan menginap di rumah adik
perempuan kandungku di slawi. Momen silaturahmi sekalian traveling sering
kulakukan. Daripada makan dan tidur di hotel, lebih baik uangnya diberikan pada
keponakan sendiri.
Kebetulan aku tiba di Slawi pas
malam Idul Adha. Otomatis Shalat idul adha adalah aktifitas yang mengawali
kehidupanku pagi ini di Slawi. Agak siangan, aku main ke stasiun KA. Rencananya mau beli
tiket Tegal-Jakarta, tapi habis. Akhirnya beli tiket Bus 'Dedy Jaya' yang berangkat
pukul sepuluh malam (70K). Bus dengan kursi 2x1 kapasitas 35 orang dilengkapi
AC tujuan Grogol Jakarta.
MASUK MELALUI RANGKASBITUNG
Bus Deddy Jaya berangkat pukul sepuluh melewati Tol Cipali, Cikampek, Tol dalam Kota Jakarta Tangerang. Tidak kusangka, aku turun di Pangkalan Cikokol Tangcity pada pukul empat Shubuh. Aku tidak memperhatikan kalau bus sudah melewati Grogol, Kalideres dan Poris. Alhamdulillah, Allah SWT. telah memudahkan perjalananku. Kelewatan tapi malah beruntung lebih baik. Terima kasih Ya Allah.
Di situ ada warung kecil milik orang Tulungagung dan sopir-sopir truk yang sedang transit di pangkalan. Kami ngobrol
sesama warga asal Jatim. Setelah itu, semuanya menjadi mudah.
Adzan Shubuh sudah berkumandang,
aku shubuhan di mushala kecil dekat situ. Dan sebelumnya aku bertanya pada
sopir truk, "Apa saya tidak salah di sini kalau mau ke Rangkasbitung
?." Oh tidak Pak, dari sini banyak bus yang ke Rangkas.
"Alhamdulillah", kataku.
Aku juga say hello numpang lewat
pada rekanku yang bertugas sebagai Kepala LP Kelas I Tangerang (menjabat s/d September
2015). Tak lama bus ke Rangkasbitung 'Rangkas' pun muncul, bus 3/4 ‘Bulan Jaya’
namanya. Ada juga bus lain ke Rangkas, namanya ‘Bus Rudi’. Rutenya
Kalideres-Balaraja-Jawilan-Rangkas. Ongkos ke Rangkas 30K, ditempuh dalam waktu
2 1/2 jam.
Selepas kota Tangerang menuju Rangkas,
jalan banyak yang rusak dan suasana 'maaf' kelihatan agak kumuh. Akhirnya aku
tiba di Terminal Mandala Rangkasbitung. Di situ tampak ‘Bus Primajasa’ jurusan
Tanjung Priok - Rangkas, ‘Bus Rudi’ jurusan Rangkas – Kalideres dan Rangkas – Bogor
/ Rangkas - Bandung, serta di terminal ini ada beberapa bus lagi yang melayani tujuan
berbeda, seperti Bus Sinar jaya.
Dari luar Terminal Mandala, aku
iseng naik angkot warna merah ke Stasiun KA Rangkas (4K). Karena Stasiun KA belum
steril, semua orang dengan mudah masuk dari perlintasan KA/jalan raya (dekat
pasar). Penumpang mbludak di area stasiun. Beruntung aku tidak jadi naik KA dari
Stasiun Tanah Abang yang berangkat pukul 08.30 dan 09.30 dengan KA yang
berbeda.
Dengan bus aku sudah ada di Rangkas
pukul 7.30 pagi. Dari main-main di stasiun KA, aku keluar melalui pintu
perlintasan yang tadi aku lewati dan ambil angkot warna merah no 07 tujuan Aweh
(5K). Di Aweh ada terminal kecil, tapi biasanya Elf itu mangkal lagi di depan
warung sampai penumpangnya penuh. Jadi menunggu Elf dari Aweh ke Ciboleger
cukup lama (30K).
Sambil bertanya dan cari
informasi cara ke Baduy dalam yang termurah dan aman, terus aku upayakan. Dengan
cara silent, sedikit demi sedikit informasi bisa aku kumpulkan. Memang, sejak
tiba di Terminal Mandala sudah banyak yang mendekati dan menawariku menuju ke Baduy,
tapi kutolak dengan cara yang paling santun.
SAATNYA BERTAMU KE BADUY
Jalan menuju Ciboleger sekitar dua jam. Jalannya naik turun dan berbelok. Kondisinya ada yang rusak dan ada yang mulus. Benar saja, baru saja turun dari Elf, aku ditanyai mau kemana. Dengan santai aku jawab mau ke warungnya Kang Agus anaknya Pak H. Kasmin. Kontak person ini aku peroleh dari warung di Aweh.
Alhamdulillah, semuanya minggir.
Ketika ketemu Kang Agus dan istrinya, dia sedikit kaget ada yang mencari. Dia
bilang, "Tau dari mana nama saya ?" Kubilang nama akang sudah sangat
terkenal di luar Baduy. Makasih Kang Agus atas bantuannya. Semoga kebaikan
Akang Allah SWT. yang balas.
Kang Agus menyarankan temui ke
Pak Jaro Saija 'kepala dusun' untuk lapor dan menulis di buku laporan
kedatangan dan tujuan ke Baduy. Di situ beri uang lapor suka rela yang tidak
ditetapkan besarnya.
Aku sedikit bercerita pada
istrinya tentang maksud kedatanganku. Dan ia memanggil anak lelakinya yang baru
menikah dua bulan lalu, Ako (20) namanya. Dia siap mengantarkanku pergi pulang
ke Baduy dalam.
Kami sepakat hanya ke Cibeo saja,
salah satu Kampung Baduy dalam selain Cikeusik (tiga jam jalan kaki dari Cibeo)
dan Cikartawana (tiga puluh menit jalan kaki dari Cibeo). Di Cibeo, kami menginap
satu malam saja. Kampung Cibeo memiliki sekitar sembilan puluh rumah dan di
Kampung Cikeusik memiliki lebih dari seratus rumah.
Ketika aku tiba di Cibogeler, waktu
menunjukan pukul 12.30. Kalau mau menginap di Cibeo, Kampung Baduy Dalam yang
paling dekat memerlukan waktu empat jam berjalan
kaki. Jadi kalau bisa sebelum gelap sudah harus tiba di sana.
Kami sepakat tentang waktu dan
biaya menuju ke sana. Dengan secepat kilat aku persiapkan semuanya, mulai dari
membeli bekal air mineral, camilan dan sedikit bahan baku untuk lauk di Cibeo. Sedangkan
Ako sendiri membawa beras sekitar dua kilogram. Begitu juga isi ransel aku
kurangi setengahnya, dan kutitipkan pada istrinya Ako (18).
Biaya yang kuberikan pada Ako
setara dengan rata-rata per hari orang bekerja di daerah Ciboleger. Kalau mau
memberi lebih tidak jadi masalah. Hampir tidak mungkin kalau aku masuk sendirian
ke Baduy Dalam. Disamping sebagai tamu yang baru pertama kali datang ke sini.
Tepat pukul satu siang, dimana
panas terik matahari lagi top-topnya saat itu membakar bumi, kami berjalan
menuju Kampung Baduy Dalam, Cibeo. Jalur yang kami lewati adalah Dangdang,
sebuah danau yang asri berada pada jalur ini. Melewati Kampung Cempaka yang
baru ada tiga tahun ini dan Kampung Kaduketer (Durian Keter). Tanjakan setapak
berbatu yang disusun warga sedikit
membantu perjalanan, begitu juga jalan yang menurun.
Jalur mendaki yang panjang sangat menguras tenaga membuat nafas terengah-engah dan keringat bercucuran. Selama perjalanan kami berpapasan dengan orang Baduy yang sedang memikul petai, memikul karung besar atau memikul sembako.
Jalur mendaki yang panjang sangat menguras tenaga membuat nafas terengah-engah dan keringat bercucuran. Selama perjalanan kami berpapasan dengan orang Baduy yang sedang memikul petai, memikul karung besar atau memikul sembako.
Keluar masuk hutan, melewati ladang curam dan menyebrangi kali kecil dan jembatan bambu adalah dinamika perjalanan ini. Pemandangan yang indah bukit-bukit nan hijau membantu mengurangi rasa lelahku.
Kalau Ako tampak biasa saja,
malah jarang minum. Dia sudah biasa bolak balik mengantar tamu atau ikut
berbagai upacara adat di Baduy Dalam. Tapi aku sering minum air mineral yang
kubawa dari bawah.
Beberapa Kampung Baduy Luar
terakhir sudah kami lalui dan batas memasuki Kampung Baduy Dalam sedang kami
lewati. Akhirnya aku tiba di Cibeo sebelum gelap datang. Berarti hanya
memerlukan waktu 3 1/4jam saja kami bisa menembus jalur Ciboleger ke Cibeo. Normalnya
sih empat sampai lima jam, kalau orang Baduy sendiri hanya 1 1/2 jam tanpa
henti.
Kalau orang asli Baduy sudah bisa
keluar masuk daerah ini. Mereka bilang, kalau malam harus pulang ya pulang apa
pun resikonya. Yang berisiko adalah digigit ular tanah yang sangat berbisa dan
terkenal di Baduy. Sering, ular tak sengaja terinjak lalu menggigit. Sudah
banyak yang merasakan gigitannya, dari mereka ada yang selamat dan ada juga yang
tidak. Di tengah jalan, aku hanya menjumpai selongsong kulitnya saja, bekas
proses ganti kulit.
Aku diinapkan di rumah Pak Nalim.
Tikar dan bantal digelar buatku. Sembako yang hanya cukup untuk sehari, Ako
serahkan ke istri Pak Nalim. Sekarang aku tinggal di rumah panggung sederetan
dengan rumah tetangga yang lain. Hidup di sini tanpa listrik, tanpa kamar
mandi, tanpa kamar, rumah dibuat tanpa paku, rumahnya rumah panggung setinggi
satu meter dari tanah, di bawahnya dipakai untuk kandang hewan dan menaruh kayu
bakar, lantai rumahnya terbuat dari bambu yang dipipihkan, atap rumahnya rumbia
dari daun sagu, mandi atau buang air semuanya harus di sungai. Penerangannya berupa
pelita berbahan bakar minyak kelapa. Teras dan pintu rumah terbuat dari bambu dan
jalannya dari batu kali yang disusun rapi. Tanpa elektronik sedikit pun,
handphone tanpa sinyal dan memotret dilarang. Sekolah pun tidak ada.
Yang lain dari Suku Baduy, keyakinannya 'agama' Sunda Wiwitan. Tidak menerima turis asing. Kalau ada warga yang
meninggal, dikubur seperti biasa dan setelah diupacarakan selama seminggu,
makamnya sudah rata dengan tanah. Bahasanya, bahasa Sunda kasar campur dialeg lokal.
Kalau mereka pergi ke Jakarta, mereka menyusuri rel kereta api tanpa alas kaki.
Luar biasa, saudara kita di Baduy mempunyai toleransi beragama yang tinggi. Ketika aku permisi mau Shalat Jama Qasar, mereka mempersilakanku melakukannya di dalam rumahnya. Mereka benar-benar menerapkan masing-masing umat beragama mempunyai hak dan kewajibannya pada yang lain.
Luar biasa, saudara kita di Baduy mempunyai toleransi beragama yang tinggi. Ketika aku permisi mau Shalat Jama Qasar, mereka mempersilakanku melakukannya di dalam rumahnya. Mereka benar-benar menerapkan masing-masing umat beragama mempunyai hak dan kewajibannya pada yang lain.
Menjelang gelap, kami minum kopi
di salah satu teras milik warga Baduy Dalam lainnya. Penjualnya adalah orang
Baduy Luar, orang Baduy Dalam dilarang berjualan. Di situ seperti warung kecil
yang menyediakan aneka barang kebutuhan sehari-hari yang sangat minimalis.
Tampak ayam-ayam dewasa dan
anak-anaknya yang masih kecil berkeliaran ke sana kemari. Kami capek mengusirnya
berkali-kali dari dalam agar mau ke luar. Ya hanya ayam dan bebek saja yang
boleh dipelihara (unggas), sedangkan ternak yang lain dilarang.
Istri Pak Nalim sudah siap
memasakkan buat kami. Nasi di bakul, mie kuah, jengkol dan ikan kecil dibakar.
Lalu minumnya air teh celup panas yang disiapkan dalam gelas bambu.
Badanku terasa pegal dan tadi
ketika menuruni bukit, kaki sedikit kram. Untung saja ada Aa Mista yang sedang
memandu enam orang tamu tapi ahli memijat. Sambil dipijat di rumah Pak Nalim
dan sambil mata mengantuk-ngantuk, kami ngobrol sedikit melayang. Aku beri dia
50K. Kelihatannya dia senang atas pemberianku.
Menjelang tidur, aku ngobrol
sesaat dengan Pak Nalim beserta istrinya. Aku sampaikan bahwa aku bawa sarung yang
kubungkus rapi dengan kertas kado, sorban putih dan tas kain kecil. "Ini untuk Bapak,
sengaja saya bawa dari rumah. Terserah Bapak mau diberikan pada siapa saja, yang
penting Bapak sudah terima pemberian saya". Dan Pak Nalim menimpali, "Mungkin pemberian Bapak, nanti
akan saya berikan untuk anak saya yang kerja di luar kota."
Sedikit bercerita mundur, kalau mau masuk
Baduy Dalam ditanya dulu maksud tujuannya. Pengunjung atau tamu berbeda-beda
maksudnya. Ada yang sengaja wisata, study banding, KKN atau ingin ketemu/ziarah
kepada Puun (ketua adat kampung). Kalau untuk yang satu ini, ada syarat-syaratnya
yang harus dibawa dan permintaan 'khususnya' ingin seperti apa.
Mentaati aturan adat selama
berabad-abad turun menurun selalu ditaati warga Baduy Dalam. Seperti berjalan
tanpa alas kaki, gotong royong, upacara adat, tidak bercerai dan tidak berpolitik.
Keseniannya adalah angklung, sering dipakai mengiringi upacara menanam padi
bersama.
Tidak ada sawah di Baduy dalam.
Ladangnya, ladang huma yang mengandalkan air hujan. Kemiringannya hingga 60°
dan ditanam oleh pria, wanita dewasa atau anak-anak. Setiap yang sudah menikah
wajib berladang dan memiliki lumbung padi sendiri.
Salah satu warga bercerita
padaku, "Kami tidak ikut pemilu, kami punya KTP tapi kami tidak pegang dan
warga kami ada datanya. Siapa saja yang pemilu kami tidak peduli siapa saja, yang
penting damai. Kami tidak ikut berpolitik, karena takut punya musuh".
Disamping bekerja di ladang huma
hingga sore, mereka selalu menyempatkan diri membuat alat/perkakas apa saja untuk
keperluan hidupnya. Dan mereka membuat kerajinan seperti menganyam bambu, menenun,
merajut serat benang untuk tas. Semuanya untuk ditawarkan pada tamunnya dan
dipakai sendiri. Madu hasil perburuannya di hutan juga dijual pada tamunya, yang
botol besar 150K dan yang kecil 60K.
Mau mandi harus datang ke sungai.
Dan sabun juga dilarang dipakai di sini. Pakaian mereka hanya dua warna putih
dan hitam. Pengikat kepalanya berwarna putih. Juga bajunya yang berlengan
panjang berwarna putih. Bagian bawahnya menyerupai rok pendek berwarna hitam
bergaris. Plus golok di pinggangnya. Anak-anak yang berumur tujuh tahun pun sudah
dilengkapi golok di pinggangnya dan biasa berjalan jauh di dalam hutan.
Kalau Baduy Dalam ciri khasnya,
kepala diikat kain batik berwarna biru, baju bebas dan pakai celana pendek plus
golok di pinggang. Baduy dalam pakaiannya sepertinya itu-itu saja. Warnanya tidak
ada yang terlihat baru. Semuanya agak lusuh lama dipakai.
Banyak dari mereka, Baduy Luar
atau Dalam duduk berkumpul menanti tamu datang. Tugasnya membantu mengantar dan
membawa barang bawaan hingga tujuan. Mobil Elf ada dua kali kedatangan dari Aweh,
pukul delapan pagi dan pukul duabelas siang. Dan kembali ke Aweh pukul Sembilan
pagi dan pukul satu siang. Ongkosnya 25 s/d 30K.
Kami hanya menginap semalam di Cibeo.
Malam itu sekitar pukul sepuluhan hawanya belum terasa apa-apa. Namun ketika
tengah malam dinginnya luar biasa. Badanku bergerak kesana kemari karena
kedinginan. Ako juga sama sepertiku.
Repotnya, ketika ingin pipis
'buang air kecil'. Aku ijin pada Pak Nalim untuk pipis di mana. "Ga usah
ke sungai, di sisi luar rumah ini saja tidak apa-apa". Tiga kali aku pipis
karena kedinginan.
ADA SAATNYA BERTAMU, ADA SAATNYA PAMIT
Akhirnya, malam itu terlewati juga dengan aman. Pukul enam pagi kami sarapan dan tepat pukul setengah tujuh, aku memberi ucapan terima kasih karena sudah memberi tumpangan kamar buat kami (100K). Aku juga beli dua buah tas dari tali yang dirajut rapi (@30K).
Kami pamit meninggalkan Cibeo sambil
berangkulan sebagai tanda perpisahan. Dan melewati jalan yang berbeda Tambayang,
Gazebo (melewati jembatan bambu yang panjang dengan konstruksi yang unik),
Cibungur, Cicakal, Marengo, Balingbing dan Cipondak, kami tiba di Ciboleger dengan
selamat.
Dua hari aku belum mandi. Saatnya
mencari toilet umum untuk mandi (4K). Lemasin badan dan shalat, kami
meninggalkan rumahnya Ako pukul 12.45 siang. Tetapi Elf sudah berangkat, padahal
aku sudah bilang akan gabung mobil mereka tepat pada pukul satu siang. Untung
saja aku dapat tumpangan pickup sampai pertigaan, 10 km dari Ciboleger.
Di situ ada warung sunda. Aku
sempatkan makan siang sambil menunggu Elf ke Aweh. Menunggu sebentar sehabis
makan, ada Elf muncul dari arah Ciboleger. Mungkin ada Elf lain yang berangkat
dari Ciboleger pada jam satu siang lewat (25K), biasanya 30K. Elf tidak berhenti di Aweh tapi
langsung ke Rangkas dekat alun-alun. Dari situ aku sambung ke Terminal Bus Mandala
pakai angkot (5K).
Pilih bus mini dari Rangkas ke
Cikarang dan turun di Tol Bekasi Timur (30K). Lama sekali perjalanannya, lima
jam. Dari situ aku sambung ojek ke rumah adik lelakiku untuk menginap semalam
di sana.
No comments:
Post a Comment