BERAMAL LEWAT TULISAN

Sunday 9 December 2018

SUMATRA UTARA NAN MENAWAN, APALAGI DANAU TOBANYA

ARRIVAL HALL
BANDARA KUALANAMU MEDAN

Beruntung masih tertolong, meski harus berpacu dengan waktu. Print tiket, scan barang bawaan, imigrasi dan scan akhir, itu semua yang harus dilewati dalam antrean yang panjang. Lepas dari itu semua, aku langsung masuk pesawat yang akan terbang ke Bandara Kualanamu, Medan. Alhasil aku sama sekali tidak sempat duduk di ruang tunggu.

Hampir aja kami terlambat terbang ke Medan. Sebab Bus Rapid No 401 yang kutumpangi dari Terminal Jetty terjebak macet. Ada saja hambatan yang bikin lambat, diantaranya banyak lampu merah, turun naik penumpang dan beberapa jalan ada perbaikan.


SHORT FLIGHT

Penerbangan pendek yang hanya 55 menit memang tidak terasa lama. Perasaan baru naik sudah harus turun lagi. Apalagi aku punya pesanan prebook meals online. Ketika makanan habis disantap, seketika itu juga ada pemberitahuan agar para penumpang bersiap-siap untuk mendarat.

Akhirnya, pesawat menyentuh landasan Bandara Kualanamu di Deli Serdang (Medan). Aku bangga melihat bandara yang megah ini. Apalagi ada moda kereta api yang terintegrasi dengan Bandara, komplit sudah fasiltas buat publik khususnya bagi para traveler.


KOTA TUA PEMATANG SIANTAR

Di luar Bandara, transportasi publik sudah banyak yang menunggu, taksi, Bus Damri, ALS dan Bus Paradep. Kupilih Paradep, sebab ingin langsung ke Pematang Siantar tanpa mampir Medan. Bus keluaran baru berjenis Double Decker membawa kami bablas lewat tol menuju Pematang Siantar dalam waktu 2,5 jam saja.


Sampai di pool agen bus Pematang Siantar, aku dapat antaran gratis dari Paradep. Kami diantar ke Guesthouse Humanitas di Jalan H. Adam Malik. Rumah lama di sudut jalan ini punya dua puluh kamar dengan berbagai harga, mulai seratusan hingga lima ratus ribu rupiah plus sarapan. Menginap disini serasa tinggal di rumah sendiri. Enaknya, guesthouse ini posisinya ada ditengah kota. Jadi kemana-mana dekat.

Di pagi hari yang indah, tau-tau sudah diantarkan seporsi lontong sayur plus segelas teh manis. Di Siantar kulinerannya ga berat di kantong. Semuanya terbilang murah. Kebanyakan menunya seperti masakan Padang yang berbumbu dan bersantan. Kulineran yang mendominasi daerah ini, aneka macam mie, lontong sayur atau nasi gurih. Kudapan terkenalnya adalah roti ganda srikaya dan roti ketawa.

Sudah menjadi kebiasaanku menjelajahi tempat-tempat yang baru sehabis shubuhan. Di pagi hari udaranya bersih dan segar untuk dihirup. Dan pancaran matahari belum begitu terik. Hitung-hitung ini olah raga pagi menyusuri jalan-jalan kecil ke dalam perkampungan. Tampak rumah-rumah tua peninggalan masa lalu masih banyak dan terpelihara baik. Sambil menyelam minum air, setiap ada obyek yang menarik, pasti kujepret pakai kamera hape sederhana yang selalu kubawa.

Sebelum kembali ke Guesthouse, kami sarapan dulu biar ada simpanan tenaga di awal hari ini. Yang kusantap kuliner menu khas Siantar, sambil ngopi-ngopi dan ngobrol dengan para sesepuh di kota ini.

Sesekali aku panggil bentor atau becak motor untuk mengantar kami menuju ke suatu tempat. Bentor ini awalnya menggunakan sepeda motor merk BSA. Tapi banyak yang sudah ganti dengan motor keluaran sekarang. Ongkos naik becak bervariasi tergantung jauh dekat tujuannya dan perlu keahlian menawar.

Sebenarnya di guesthouse dapat jatah sarapan, tapi tidak ada salahnya jatah sarapan tersebut kubungkus untuk disantap di Parapat. Sebab tadi keburu sarapan di luar, jadi perut kami masih terasa kenyang.

GESER ke PARAPAT

Aku sengaja menunggu angkot di sisi timur Kantor Pos menuju Simpang Dua. Ongkos per orang empat ribu. Dari situ kuambil taksi sharing menuju Parapat, sebuah kota kecil yang berada di pinggiran Danau Toba. Biasanya ongkos ke Parapat 20 ribu. Tapi Pak Sopir menarik ongkos 25 ribu. Never mind lah, because I am happy.

Karena didukung jalan yang bagus, perjalanan ke Parapat perlu waktu satu jam saja. Ketika hampir memasuki Kota Parapat, tampak sekumpulan kera berjejer di tepi jalan. Di sekitar jalan ini adalah rumahnya kera sejak dulu. Sebab pada pinggiran jalan yang berkelok-kelok itu adalah hutan yang cukup lebat.

Kami menginap semalam di Parapat, lantas esoknya menuju Samosir. Di sini banyak angkot tapi ga ada jurusannya. Kemana aja bisa diantar, cukup bayar empat ribu, dijamin sampai tujuan.

Menginapnya di Wisma Bahari, yang bersebelahan dengan Polsek dan Masjid Raya Parapat. Lokasinya tidak jauh dari pertigaan jalur utama Parapat - Sibolga. Meski kotanya kecil, Parapat ramai sebagai kota transit menuju Pulau Samosir dan daerah-daerah lainnya. Di sekitaran sini banyak orang berjualan buah-buahan dan aneka ragam makanan.

Karena dekat Masjid Raya At Taqwa Parapat, kami sering shalat berjamaah di sana. Ada saja kenalan baru yang ikhlas membantu kami berbagi informasi. Karena letaknya yang strategis, menginap di sini terasa mudah kalau perlu apa-apa. Tinggal jalan kaki sedikit, semuanya bisa didapat.

Seperti sebelumnya, habis Shubuhan di masjid, kami menelusuri jalanan Kota Parapat terutama bagian atas arah ke Medan. Tujuannya, disamping untuk olah raga ringan sambil mengabadikan keindahan Danau Toba dari atas. Kami melakukannya dengan penuh semangat, sehingga tidak merasakan hawa dingin yang menusuk tubuh.


KAPAL ke PULAU SAMOSIR

Keluar dari hotel langsung cegat angkot menuju ke penyebrangan kapal Tiga Raja. Kami mau ke Tuk Tuk Pulau Samosir yang kapalnya berangkat dari Tiga Raja. Sebelum naik kapal, kami menulis nama/umur dan alamat pada manifes penumpang.
Ada dua kapal yang berangkat dari Tiga Raja, ke Tuk Tuk dan Tomok. Kalau pelabuhan yang bisa mengangkut mobil ada di Ajibata ke/dari Tomok. Ongkosnya per orang 15 ribu rupiah yang ditarik di atas kapal. Jika cuaca baik, lama perjalanan hanya 25 menit. Kru kapal akan bertanya, "Menginap di hotel apa ?" Maka di situlah perahu ditambatkan.

Aku sempat ngobrol dengan nakhoda kapal tentang kecelakaan kapal di Danau Toba beberapa waktu yang lalu. Dia mengatakan, ketika itu cuacanya buruk dan air danau bergelombang. Ditambah lagi penumpangnya ramai. Itulah penyebabnya.

Kami menginap di Carolina Cottage, kamar ekonomi. Lokasinya paling atas di puncak bukit mini. Setelah masuk kamar, kami baru tau kalau kamar no 8 tersebut bersebelahan dengan sepasang makam berlapiskan marmer hitam. Ternyata, itu adalah makam suami dan istri pemilik hotel ini yang dikubur di situ. Apa komentar anda ? Kata orang, ngeri-ngeri sedaplah. Apalagi waktu itu pas malam jum'at. Meski begitu,  kamarnya bagus. Kami senang tinggal di situ. Setiap tamu bakal puas kalau menginap di sini. Walau kamar ekonomi, tapi masih dapat sarapan lagi.

Di Tuk Tuk hanya ada satu rumah makan Muslim dan sebuah mushala. Namanya RM. Muslim Murni dan Mushala Al Ikhlas. Sedangkan di Tomok, rumah makan Muslimnya lebih banyak dibanding Tuk Tuk.

Desa Tuk Tuk dan Tomok Muslimnya sekitar 30 KK saja. Pada saat adzan, tidak ada suara yang bisa disalurkan lewat speaker. Kalau mau tau waktu shalat, mau ga mau harus lihat jam. Masyarakatnya hidup rukun dan damai. Dari pulau inilah lahir puluhan marga Batak yang berkembang besar sampai kini. Samosir te o pe deh.

Untuk eksplor Samosir bisa sewa motor. Per jam dipatok 30 ribu. Kalau seharian 100 ribu. Hal yang paling asyik adalah nongkrong di pinggir pantai depan hotel. Duduk-duduk di kala senja sambil menanti datangnya malam. Di situ kami bisa memandangi indahnya danau, bukit yang hijau dan perahu motor yang lalu lalang. Anak-anak banyak yang memancing atau berenang di pantai itu.

Esoknya, di pagi yang cerah kami awali menjelajahi Samosir dengan motor sewaan. Pertama menuju arah kanan, ke Batu Kubur dan ke Kompleks Batu Kursi Raja Siallagan. Kemudian ke arah kiri, ke Tomok melihat tarian tor-tor Sigale-gale. Di kedua obyek wisata ini terdapat kedai/pasar menjual souvenir khas Batak. Lucunya, kami berdua ditawari berbagai macam souvenir pakai harga ringgit. "Mak Cik, sila kaos ini cuma 5 ringgit sebuah." Mereka mengira kami ini turis asal Malaysia.

Kami sengaja berhenti beberapa kali di jalanan Samosir untuk menikmati indahnya Danau Toba dari atas. Boleh dikata melihat danau ini dari mana saja selalu tampak indah. Dan boleh dijamin menjelajahi Samosir ga bakal kesasar, sebab jalannya cuma satu. Ke kiri atau ke kanan saja.



Tepat pukul sepuluh pagi, aku kembalikan motor sewaan. Aku sewa cuma 3 jam dan bayarnya 80 ribu. Setelah kemas-kemas barang langsung check out dan bergegas menuju dermaga Tuk Tuk Siadong menunggu kapal datang menuju Tiga Raja. Ternyata, cuma kami aja yang naik dari situ, tidak ada yang lain. Serasa kapal milik pribadi.

Setelah puas menjelajahi Kota Pematang Siantar, Parapat, Danau Toba dan Pulau Samosir. Target selanjutnya adalah ke Kota Ikan Sibolga Kabupaten Tapanuli Tengah pakai bus mini. Ongkosnya per orang 80 ribu. Untuk menuju kemari kami banyak dibantu oleh jamaah Masjid Raya Parapat. Mereka membantu mencarikan bus mini sampai dapat. Selama di Parapat dan Samosir mereka berbagi informasi kepada kami.  Sedangkan informasi penginapan murah di Sibolga. Kami dibantu oleh seorang rekan TNI yang baru saja pindah tugas ke Sibolga.



Rute yang kami lewati adalah Parapat, Porsea, Balige, Siborongborong, Tarutung lantas Sibolga. Perjalanan dengan bus mini memakan waktu hampir enam jam. Uji ketahanan phisik ada pada ruas Tarutung - Sibolga. Belok belum selesai sudah harus belok lagi. 'Seribu' tikungan pendek ada di sini. Kalau ga kuat, pasti muntah atau pusing. Disamping itu ada resiko longsor dari bukit-bukit di pinggir jalan yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Masih banyaknya jalan yang rusak, kenyamanan perjalanan kami jadi sedikit terganggu. Itu semua menjadi tantangan tersendiri kalau melewati jalur ini.

Dari terminal kami diantar becak (bentor) ke Mess Korem di Jalan Maraden Panggabean. Mess ini menyediakan kamar juga untuk umum. Lumayan lah bisa menghemat kantong yang sudah mulai menipis.

Esoknya kami sarapan di dekat Mess. Aku pesan lontong sayur khas Sibolga dan segelas kopi hitam. Berdua hanya 20 ribu. Pemilik kedai bernama Bang Olan. Pemuda setengah baya yang pernah bekerja sebagai chef di Australia ini sangat ramah melayani tamu dan siap membantu keperluan kastamer.



Kami mencharter becak seharian untuk keliling kota, ke tangga seratus, ke ikon SIBOLGA KOTA IKAN dan Pantai Kalangan di Pandan. Pandan adalah Ibukota Kabupaten Tapanuli Tengah. Lae Juntak namanya si pemilik becak. Orangnya baik dan sopan. Ketika kami ajak sama-sama makan di Pantai Kalangan, dia ga mau. Karena dia ingat anak istrinya di rumah. Alhasil, kami makan siang berdua saja. Sedangkan Lae Juntak cuma minta kopi dan sebungkus rokok. Berikut adalah nomor hape Lae Juntak : 081360632270.

Di Sibolga jangan kuatir ga bisa shalat di masjid. Kota ini memiliki banyak masjid dan rumah makan halal. Mau tau plat nomor di kabupaten ini ? BB lah jawabannya.


Besok malam, perjalanan kulanjutkan menuju Pulau Nias.




Copyright©  by RUSDI ZULKARNAIN



No comments: