BERAMAL LEWAT TULISAN

Wednesday 28 August 2019

JELAJAH 6 PROPINSI DALAM SEBULAN (2)


Kota Kecil Tua Pejat sebagai Ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai sedikit ramai bila ada kapal yang datang atau mau berangkat. Di dekat pelabuhan terdapat beberapa penginapan yang taripnya bervariasi atau rata² 150 ribuan. Rumah makan dan toko menghiasi suasana pemukiman sekitar sini. Jalan utama yang terbuat dari cor terbentang mulai Tua Pejat hingga Desa Pogari menuju Sioban. Sedangkan pusat pemerintahan Kabupaten Kepulauan Mentawai ada di km 4 jalan utama ini. Selebihnya hanya jalan kecil di sepanjang pinggiran rumah dimana pantainya sebagai halaman belakang setiap rumah warga Tua Pejat.


MENTAWAI dan PARIAMAN



Soal kulineran di Pulau Sipora ingin kucoba semuanya mulai ikan bakar lado, randang, sate, pecal dan durian yang melimpah datang dari Pulau Sikakap. Harga seporsi makan dengan 2 lauk ditarik tidak lebih dari 25 ribu. Begitu juga dengan duriannya. Lima belas ribuan dengan kualitas yang hhmm wuuuah... wuenak tenan. 




Sebelum naik ferry aku sempatkan makan 2 buah durian yang melimpah di pelataran parkir Pelabuhan Tua Pejat. Durian datang dari Pulau Sikakap yang diturunkan dari kapal kayu. Kedatangannya menjadi rebutan warga penikmat durian, termasuk aku baru berhenti makan pas sirine panggilan ferry berbunyi.

Aku kembali ke Padang dengan Kapal Ferry roro Ambu-Ambu yang berangkat pukul 19.00 dengan harga tiket 140 ribu. Karena cuaca kurang bersahabat, ferry goyangannya lumayan kuat. Untuk shalat berdiri pasti jatuh. Tiba di Bungus pun jadi terlambat pada pukul 5 pagi (10 jam). 

Dengan menumpang kendaraan umum berjenis minibus biru L300 jenis lama, aku sampai juga di Pasar Raya (10 Ribu). Dari perempatan dekat Matahari aku lanjut menumpang angkot warna orange ke Stasiun KA Tabing (4 Ribu).

Dari Pelabuhan ASDP Bungus menuju Kota Padang aku melewati perbukitan mengelilingi Teluk Bayur. Memang sangat amazing betul teluk ini. Pantas saja sampai diabadikan dalam sebuah lagu Teluk Bayur yang dinyanyikan oleh Erni Djohan.

KA Sibanuang menuju Pariaman (5 ribu) berangkatnya pukul 09.30 pagi, sehingga aku cukup waktu untuk menunggu sambil sarapan di kedai pinggiran rel KA. Dari stasiun Tabing ini juga dilalui KA Minangkabau Express menuju Bandara (10 Ribu).

Inilah Kota Pariaman yang panas sebab letaknya ada di pesisir pantai. Terdapat 3 pantai yang populer seperti Pantai Cermin, Pantai Gandoriah dan Pantai Kata. Pantai² ini sangat rapi. Antara jalan raya, trotoar pejalan kaki, parkir, trek di area pantai, taman dan para penjual mamin tertata sangat apik. Sehingga pantainya utuh tidak bercampur baur dengan yang lain.

Di sekitaran Stasiun Kereta Api sangat ramai karena dekat pasar dan angkutan umum. Sedangkan penginapan budget ada di sepanjang jalan rel kereta api.

Kulinerannya yaitu Sala kalau di Jawa semacam gorengan untuk camilan atau sebagai teman makan nasi. Olahan dari tepung yang dibumbui lalu digoreng.


Sedangkan Nasi Sek, artinya saratuy kanyang (seratus kenyang). Awal mulanya, nasi sek ini harganya cuma seratus rupiah. Seiring waktu, harganya berubah mengikuti sesuai perkembangan jaman. Sekarang harganya sepuluh ribuan, sehingga merubah kepanjangannya Nasi Sepuluh Ribu Enak Kenyang. Walau begitu, harganya bisa lebih murah. Itu juga tergantung lauk pendampingnya.

Phisiknya dibungkus daun pisang berbentuk segi tiga seperti nasi kucing kalau di Jawa, nasi uduk Jakarta atau nasi jinggo di Bali.


Nasi Sek biasanya dikombinasikan dengan gulai jengkol, sambal cabai atau sayur singkong.

Makan sudah, menjelajahi kota dan desa sudah. Di sela² itu semua yang terpenting adalah beribadah pada Allah sesuai perintahNYA. Salah satunya adalah shalat berjamaah di masjid. Pada kesempatan ini aku Shalat Maghrib di Masjid Raya Pariaman. Masjid dengan arsitektur lama dengan suasana sejuk dan bersih. Di sisi utaranya terdapat makam Syeikh Moch. Jamil dan di bagian lain terdapat kantin dan madrasah. Masjid Raya Pariaman ini berdiri dalam satu kompleks konsep rumah ibadah yang lengkap.

Kurasa cukup eksplor tipis² Kota Pariaman. Selanjutnya aku menuju Bukittinggi. Dari homestay naik ojek ke Simpang Lapai (5-7 ribu). Di situ adalah pangkalan bus mini warna kuning L300 jurusan Bukittinggi (15 ribu).

Angkutan melewati Sicincin, Padang Panjang lantas Bukittinggi. Tiba di Terminal, suasananya sangat ramai dengan berbagai armada angkutan dan bercampur dengan aktivitas pasar di sekelilingnya. Betul² sangat ramai. Dari situ ke penginapan aku order Gojek yang bayarnya cuma seribu rupiah.


BUKITTINGGI

Saat pertama masuk di Bukittinggi pas masuk waktu shalat, setiap masjid masing² mengumandangkan adzan. Suaranya bersaut²an. Begitu juga dengan tausiahnya terdengar jelas dari masing² masjid.

Di Bukittinggi yang pertama kulakukan adalah menikmati nasi kapau di Pasar Atas dekat Menara Jam Gadang. Penyajian yang unik dan menu pilihannya banyak, menambah selera untuk mencobanya.


Penyajian dengan sendok panjang untuk mengambil lauk itulah yang menjadi daya tariknya. Melegenda betul nasi kapau ini. Soal rasa dan harga sesuai betul memuaskan penikmatnya. Kita bisa makan di tempat atau minta dibungkus dibawa pulang akan dilayani oleh Uni dan Etek di sana.


Selepas perut kenyang, tinggal jalan sedikit melewati dalam pasar, maka aku tiba di pelataran Jam Gadang. Monumental sekali dan gagah berdiri tegak menunjukkan kewibawaan Jam Gadang. Kalo lagi solo traveler, aku sering minta tolong pada orang² dekat situ. Alhamdulillah sampai saat ini mereka nggak pernah keberatan. Pilih background dan bergaya apik lalu jepret sebanyak mungkin.

Tentang penginapan, ada baiknya pilih di antara Jam Gadang dan Lobang Jepang. Di situ banyak sekali penginapan dengan berbagai harga. Tapi kala itu aku pilih Graha Muslim Hotel (GM) di Jl. Prof. Hamka yang relatif dekat ke-mana².


Pagi sekitar pukul delapan aku start bersama sahabat ke Bukit Lawang dengan sepeda motor. Perlu satu jam menuju obyek wisata ini yang menawarkan view Danau Maninjau dari atas. Jalurnya mulai dari jalan samping Lobang Jepang, Matur (jalur ke kelok 44) lantas Bukit Lawang. Tiket masuknya 20 ribu per orang.

Sebelum ke Puncak Lawang kami melewati Desa Matur. Di desa ini punya keunikan di pasar hewan dalam transaksi jual belinya. Yakni penawaran dilakukan di dalam sarung. Cukup menggunakan kode jari di dalam sarung, penjual langsung mengiyakan atau menolak penawaran tersebut.

Kalau kemari tergantung cuaca berkabut atau bersih sedikit awan. Sebab kalau berkabut tidak bisa melihat apa². Semoga anda diberi langit cerah kalau berkunjung kesini.


Pulangnya melewati jalan yang sama. Kebetulan di pinggir jalan ada yang jual durian, harus mampir dong untuk mencicipi satu atau dua buah durian. Yang menjadi gong nya kulineran hari ini adalah menikmati Itiak Lado Mudo di Ngarai. Dagingnya empuk dan sambalnya (lado) hhm hijau pedas² gimana gitu.

Lebih lanjut aku ke Taman Panorama Ngarai Sianok dan Lubang Jepang. Tiket masuknya 15 ribu. Dan lokasinya tidak jauh dari Jam Gadang. Yang pertama adalah Ngarai Sianok berupa gugusan tebing curam kiri dan kanan. Di belakangnya tampak Gunung Singgalang dan dihiasi lanskap alam yang sangat indah. Yang kedua adalah Lobang Jepang yang panjangnya 1,5 km dengan kedalaman 50 m. Namun di dalamnya terdapat lorong² bercabang yang memiliki fungsi berbeda².


Lubang ini dibangun pada masa kolonial Jepang. Para pekerjanya adalah Romusha, tenaga kerja paksa yang berasal dari berbagai daerah luar Sumatera Barat. Banyak korban berjatuhan dalam pembuatan lubang ini karena dipaksa dengan begitu kejam bahkan dibunuh. Pembangunan lubang ini berhenti ketika terjadi bom di Hiroshima. Kemudian lubang ini ditemukan setelah Indonesia merdeka dan lubang diperbaiki dibesarkan serta direnovasi untuk wisata hingga sekarang.

Bersambung ke JELAJAH 6 PROPINSI DALAM SEBULAN (3)
Klik disini https://www.seratusnegara.com/2019/08/jelajahi-6-propinsi-dalam-sebulan-3.html

    Copyright© by RUSDI ZULKARNAIN
     email  : alsatopass@gmail.com

No comments: