BERAMAL LEWAT TULISAN

Sunday, 2 February 2025

4 KAPAL PELNI MEMBAWA KAMI KELILING INDONESIA TIMUR

 

SURABAYA - SORONG

Mumpung masih ada persediaan tiket Kapal Pelni dari Surabaya tujuan Sorong di Aplikasi Pelni Mobile, aku beli dua belas hari sebelum jadwal keberangkatan. Harga tiketnya @767 Ribu sekali jalan. Aku berangkat bersama istri. Lumayan nih perjalanannya bakal lama yaitu 3 hari 10 jam dan transitnya cuma sekali aja di Makassar.

Beberapa persiapan ke Papua kulakukan diantaranya browsing rumah penginapan di Sorong yang ulasannya punya bintang yang baik. Penginapan itu bernama "Rumah Marianne". Aku booking untuk semalam dulu dan bayarnya di TKP. Kalau cocok aku bakal eksten untuk beberapa hari berikutnya.

Ke Sorong kupilih KM Gunung Dempo karena kapal ini waktu tempuhnya lebih cepat dan usia kapalnya masih tergolong muda (16 tahun) dibanding dengan kapal² Pelni lainnya. Selain KM Gunung Dempo ada juga kapal sejenis seperti KM Sinabung, KM Labobar, KM Ciremai dan KM Dobonsolo. Semua kapal Pelni pada lambungnya tertera nama² gunung yang ada di Indonesia. Nama KM Gunung Dempo diambil dari nama gunung di perbatasan Provinsi Sumatra Selatan dan Bengkulu di pantai barat Sumatra. Tepatnya di Pagar Alam, Sumatera Selatan.

Keseruan naik kapal Pelni dengan lintasan jauh memang luar biasa penuh sensasi. Pengalaman bertemu orang banyak di dalam kapal sangat berbekas di hati. Saling kenal, saling bercerita dan makan bersama setelah mengantri panjang untuk mendapatkannya. Dengan naik kapal semacam ini sangat mengasyikan sambil menjelajahi daerah² di nusantara. Moment² di atas kapal sulit untuk diceritakan karena banyak sensasinya. Oleh karena itu kusarankan untuk segera mencoba sendiri agar tau semuanya. Aku lebih suka naik kapal walaupun waktunya lebih lama. Pilihan ini sangat berbeda dibandingkan jika naik pesawat yang terbang sekejab trus nyampe.

Inilah lintasan KM Gunung Dempo : Tg Priok - Surabaya - Makassar - Sorong - Manokwari - Nabire - Serui - Jayapura - Serui - Nabire - Manokwari - Sorong - Makassar - Surabaya - Tg Priok (PP)

Aku sengaja membawa beberapa potong kemeja dan celana baru untuk kusedekahkan pada yang membutuhkan. Alhamdulillah sudah aku serahkan di Sorong sehingga backpack ku sedikit longgar. Disamping keseruan berlayar dengan KM Gunung Dempo, kegiatan lainnya adalah bisa rutin shalat berjamaah di masjid kapal yang berkapasitas seratusan orang. Berlayar dari Surabaya ke Sorong dapat makan free sebanyak 10X pagi, siang dan malam setiap hari. Menyenangkan bukan ?

Setelah berlayar beberapa hari dari Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya kami pun tiba di Pelabuhan Sorong 20 menit sebelum waktu Shubuh. Setelah keluar pelabuhan aku mencari masjid terdekat untuk shalat Shubuh. Aku disambut oleh jamaah Masjid Nurul Bahar yang baik hati, berada sekitar 500 m dari pelabuhan. Padahal kami baru kenal. Sarapan nasi kuning bersama Marbot, lantas bergegas ke Penginapan "Rumah Marianne" (250K) yang telah kubooking sebelumnya. Ke sananya pakai mobil onlen 'Maxim'.

Ga pa pa stay di situ karena baru pertama kali datang ke Sorong. Meski lokasinya jauh di Kilo 9 dan terpencil tidak ada angkutan umum kecuali yang onlen. Tapi lumayan jauh sekitar 5 km ke Pasar Remu dan Bandara Domine Eduard Osok 'DEO'. Cukup naik taxi sebutan angkutan kota di Sorong yang ongkosnya 7 ribu Rupiah setelah berjalan kaki ke jalan raya sekitar 1 km dari Marianne. Tidak seperti kota² lain di Indonesia, angkot sudah banyak yang mati suri bahkan punah sama sekali karena kemajuan jaman bersaing dengan kendaraan onlen. Tapi tidak dengan Kota Sorong, angkot tetap eksis hadir melayani kebutuhan warganya.


Untuk kebutuhan ibu² memasak setiap hari tersedia lengkap di Pasar Remu. Aku terkejut, harganya banyak yang murah dan ada juga yang relatif sama dengan Pulau Jawa. Sebut saja misalnya 1 sisir pisang kepok yang gedenya segaban cuma 15 ribu ato alpokat 35 ribu/kilo padahal lagi ga musim. Ikan asap yang besar² harganya 20 ribu seekor. Semuanya fresh bikin ngiler melihatnya. Setelah dapat barang belanjaan yang diperlukan, aku shalat di Masjid Quba di area Pasar Remu. Dan balik dengan taxi ke Kilo 9 yang mangkal dekat pasar plus jalan kaki ke Marianne.

Hari pertama selesai, untuk esok dan seterusnya kami stay di Edotel yakni hotel yang dikelola SMKN 2 Sorong. Hotel itu dipakai sebagai ajang praktek mengelola hotel bagi siswa SMKN 2 jurusan Pariwisata. Lokasinya strategis berada di tepi jalan raya Yos Sudarso, dekat kulineran, masjid dan Pelabuhan Sorong. Meski rate nya cuma 250K tapi kondisinya sangat worth it. Untuk laundry bisa dikerjakan oleh Edotel.

Sorong menjadi salah satu surganya kuliner ikan. Untuk mendapatkannya tidaklah sulit karena dimana² ada ikan. Semua tinggal pilih mau ikan apa yang disuka ato pilih tempatnya mulai di tenda kaki lima ato restoran. Pokoknya lezatos banget. Sorong panas bener karena daerah minyak dan letaknya tidak jauh di bawah garis khatulistiwa. Jemur baju sebentar udah kering. Tapi kalau hujan banyak daerah yang terendam banjir. Begitulah Sorong. Oh iya, kebiasaan masyarakat Sorong masih banyak yang makan pinang. Sehingga banyak jalanan yang berwarna merah darah bekas ludahan orang makan pinang. Di mana² mudah sekali untuk mendapatkan orang jual pinang.

Setelah move dari penginapan pertama, saatnya geser stay ke Edotel SMKN 2 pakai mobil onlen Maxim yang merajai Kota Sorong karena harganya yang murah. Tampak mobil² berplat polisi bersliweran di Sorong yang diawali 'PB' berarti Papua Barat. Nanti setelah Pilkada pemilihan gubernur akhir November 2024, akan ada gubernur di provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat Daya dengan plat kendaraan yang sudah lebih dulu ada yakni PY. Selama ini Sorong dan sekitarnya berada di Provinsi Papua Barat dengan ibukota Manokwari.

Di waktu petang kami ke Pulau Doom yang penyebrangannya tidak jauh dari Edotel SMKN 2. Menyebrangnya cuma 10 menit pakai perahu motor kecil dengan ongkos 5 ribu sekali nyebrang. Pulau Doom cukup bersih dan tertata baik. Ada beberapa peninggalan sejarah penjajahan, diantaranya Bunker/Goa Jepang. Baliknya menjelang Maghrib melewati tenda² kulineran sepanjang pinggir pantai (Tembok Berlin) ato persis di seberang Edotel. Lantas dengan angkot kami ke tempat kulineran dekat Kantor Walikota Sorong. Di situ ada kulineran khas aneka sayur, lauk dan nasinya berupa singkong rebus (kasbi), talas rebus dan ubi rebus (petatas).


WAISAI RAJA AMPAT

Esok paginya dengan angkot kami ke Pelabuhan Rakyat Klademak dan turun di jalan baru. Dari situ jalan kaki ke pelabuhan. Antrian beli tiket kapal cepat sudah mengular sampai teras gedung. Pembelinya didominasi warga asing. Akhirnya giliranku tiba, aku beli 2 tiket ekonomi @125 ribu plus restribusi pelayanan pelabuhan @12 ribu. Langsung jalan kaki ke kapal yang sudah menunggu siap berangkat ke Waisai. Kapal berangkat beberapa menit molor dari pukul 9. Sehingga kapal pun tiba di Port Waisai pada pukul 11.25 WIT. Karena sebentar lagi masuk waktu jumat, aku berhenti di masjid dekat pelabuhan untuk shalat. Dari situ ambil dua ojek @20 ribu ke Penginapan Mahesa yang cocok untuk backpacker.

Aku sewa motor 24 jam sampai besok 125 ribu. Hari ini kami menjelajah ke beberapa tempat diantaranya pasar beli buah, Pantai WTC 'Waisai Torang Cinta', monumen² ikon Raja Ampat/Waisai, shalat di Masjid Raya dan malamnya makan menu ikan bakar. Jalan utama Waisai dari pelabuhan ke dalam kota jalannya lebar. Sedangkan sisi² lainnya masih banyak yang sedang dikembangkan. Setiap perempatan pasti ada monumennya yang cakep².


Kami tidak bisa hoping island seperti ke Piaynemo, pasir timbul dan lainnya sebab cuaca yang kurang baik yakni hujan lebat. Alhasil hanya eksplor Waisai dan sekitarnya. Ke Afu Resort, Korpak Resort, Pantai Saleo dan Bandara Marinda, hanya spot² itu aja yang bisa ku-eksplor selama di Raja Ampat.

Sewa motor sudah selesai, waktunya dikembalikan sekalian minta jasa antar ke pelabuhan untuk kembali ke Sorong. Kapal cepat 'Belibis' berangkat tepat pukul 14.00 dan tibanya juga ontime sekitar pukul 16.00. Saat itu ntah kenapa beli tiket harganya 125 ribu aja tanpa restribusi 12 ribu seperti beli di Sorong. Biar sekalian olah raga aku jalan kaki keluar pelabuhan sampai di pinggir jalan baru jalur angkot. Trus meluncur ke jurusan tembok berlin @7K. Malamnya seperti biasa makan ikan bakar yang maknyus di pinggiran tembok berlin.

    
Hari terakhir di Sorong, pagi² aku ke Aimas yang berjarak 20 kilometeran dari Sorong. Kami pake taxi (angkot) warna kuning sampai dekat bandara (7K). Dari situ ganti taxi warna biru yang masuknya dari pintu belakang sedangkan warna kuning masuknya dari pintu samping (10K). Daerah Aimas adalah pengembangan Kota Sorong yang awalnya banyak didiami masyarakat transmigrasi puluhan tahun lalu. Meski daerahnya masih sepi tapi fasilitas sebagai sebuah kota baru sudah tampak teratur dan ramai.


Tidak lama di Aimas, kami balik ke Sorong sambil belanja beberapa keperluan di Pasar Remu untuk bekal di kapal menuju Jayapura. Saatnya beresin barang bawaan untuk esok pagi ke pelabuhan. Tidak diduga pas mau berangkat, hujan turun lebat sekali padahal KM Labobar berangkat pukul 07:00. Saat ini jam menunjukkan pukul 06:05 WIT. Beruntung, Edotel berada tidak jauh dari pelabuhan sejalur dengan 'Tembok Berlin'. Alhamdulillah, tiba² hujan berhenti pas juga ada angkot yang lewat. Kami bergegas menuju pelabuhan, tampak KM Labobar sudah siap² bertolak ke Manokwari. Buru² check in/print tiket lantas naik ke atas kapal lewat garbarata. Gerak cepat pun berjalan lancar dan kapal segera diberangkatkan. Nama Labobar adalah nama sebuah gunung (Wuar Labobar) yang berada di Kecamatan Wuar Labobar, Kab. Kepulauan Tanimbar, Maluku.



SORONG - JAYAPURA

Situasi di dalam KM Labobar tidak berbeda dengan kapal² Pelni lainnya. Keseruan di dalam kapal pasti ada karena penumpangnya beragam dari berbagai suku. Yang terpenting harus tetap waspada agar barang bawaan aman sampai di tujuan. Kapal ini akan singgah di Manokwari setelah berlayar selama 12 jam dari Sorong. Kali ini penumpangnya tidak terlalu banyak sehingga kapal terasa longgar. Masjid di dalam kapal cuma sekali mengadakan shalat berjamaah, biasanya dilakukan dua kali karena jamaahnya membludak. Kapal kadang² terasa goyang karena bebannya tidak maksimal. Dari Sorong Labobar menyusuri laut pinggiran kepala burung Papua sampai ke Manokwari. Sehingga internet masih dapat jaringan tidak 100% blank spot. Sebetulnya di atas kapal Pelni tersedia Wifi berbayar namanya @SEAWIFI, per 2 jam 30 ribu dan ada paket lebih lama lagi tentu dengan tarip yang lebih mahal.

Transit di Pelabuhan Manokwari hanya 1 jam saja. Pada saat transit baik di dalam ato di luar kapal harus hati² karena rawan banyak kejadian pencopetan/penjambretan/pencurian. Aku cuma bisa turun di pelataran dermaga pelabuhan untuk foto² dan membeli makanan. Sayang memang transitnya cuma sebentar aja, malam lagi sehingga kurang bebas mengeksplor Manokwari.


KM Labobar berangkat lagi menuju Nabire di Papua Tengah. Banyak penumpang yang bakal turun di pelabuhan ini. Setelah berlayar 10 jam Labobar tiba di Nabire. Sama seperti ketika transit di Manokwari, di Nabire pun cuma singgah 1 jam saja. Kami turun ke depan pelabuhan, disitu banyak lapak penjual makanan/minuman/buah²an. Beruntung, aku bisa membeli beberapa kebutuhan karena bekal yang aku miliki di kapal menuju Jayapura sudah menipis hampir habis.

Labobar meninggalkan Nabire, sekarang menuju Serui. Kapal pun merapat di Serui setelah berlayar selama 7 jam. Bed kapal selalu kosong dan terisi lagi begitu seterusnya ada penumpang turun ada yang naik. Alhamdulillah Labobar singgah di Serui Pulau Yapen selama 2 jam sehingga kami agak longgar menikmati Serui. Di luar pelabuhan aku beli es teler yang maknyus ukuran jumbo cuma 10K dan lemang ketan (nasi bambu) yang bikin perut kenyang.



Labobar menjalankan tugasnya pada lintasan terakhirnya ke Jayapura yang memerlukan waktu berlayar sekitar 20 jam. Setelah lama di laut, kami tiba tengah hari yang pas benar untuk check in hotel. Aku stay di Humboldt Bay Hotel, lokasinya di Jl. Koti yang jaraknya seratusan meter aja dari pelabuhan. Ratenya terjangkau, cukup worth it, ada breakfast, bersih, pelayanan oke, strategis, ada angkot dan dekat masjid.

Jayapura sebelumnya dikenal sebagai Hollandia berada di Teluk Jayapura atau Teluk Yos Sudarso atau Humboldt Bay. Jalan raya di depan pelabuhan adalah jalur macet apalagi lagi kalau ada kapal Pelni samdar. Oleh sebab itu kami stay di dekat pelabuhan biar kalau naik kapal tidak terhalang macet, cukup jalan kaki aja. Setelah check in, istirahat dll. kami mulai meng-eksplor Jayapura, pertama² makan siang masakan Jawa dekat hotel yang harganya murah meriah. Lantas dengan angkot warna hijau tua ke Pasar Hamadi (5K). Di pasar itu beli singkong ubi, pisang kepok, alpokat, jeruk, telur dan laundry. Maklum banyak yang dibeli sebagai bekal di dalam kamar. Duh, di Papua buah matoa mahal bener paling tidak harganya 50K sampai 100K per Kg. Sedangkan di Jawa cuma 20K per Kg. Pasar Hamadi termasuk pasar yang besar dan lengkap. Hampir semua kebutuhan tersedia di pasar ini. Sedangkan penjualnya didominasi oleh orang Makassar/Bugis, Jawa, Buton dan warga asli Papua sendiri. Kalau pusat pasar ikannya tidak begitu jauh dari Hamadi. Jika ingin shalat berjamaah tidak perlu jauh², sebab di seberang hotel ada masjid milik Detasemen Bengkel Angkutan Markas TNI. Selanjutnya sering cari informasi pada beberapa orang tentang Jayapura dan sekitarnya.

Di seberang hotel terdapat pangkalan ojek laut (perahu) menuju dua pulau kecil. Yuk berangkat ada apa disana. Karena dermaganya sangat dekat dengan hotel, aku jalan kaki kesana menyusuri jalan kampung menuju pangkalan ojek perahu. Disitu sudah ada beberapa orang yang menunggu menyebrang ke Kayo Pulau dan Pulau Kosong. Ojek perahu kapasitas 20 orang mengantar kami ke Kayo Pulau, bayarnya 5K per orang. Tidak semua penumpang turun di sini, yang lain lanjut ke Pulau Kosong.

Penduduk di kedua pulau kecil ini sejak dulu hidup turun temurun dan tinggal di rumah² terapung yang awalnya adalah nelayan dari luar daerah. Rumah² terapung satu sama lain tersambung oleh jembatan kayu menyerupai dermaga. Setelah Kayo Pulau aku lanjut ke Pulau Kosong dengan ojek perahu, bayarnya sama 5K, angkot juga 5K. Waktu tempuh ke masing² pulau ga sampai 10 menitan. Pulau Kosong sama padatnya seperti Kayo Pulau. Dari pinggiran Kota Jayapura terlihat rumah² kayu di kedua pulau, kali ini kebalikannya dari sini aku bisa lihat indahnya Kota Jayapura, perbukitan, pelabuhan, rumah dan gedung² tinggi yang menghiasi kota.


PAPUA NUGINI (PNG)

Setelah satu persatu negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Indonesia pernah kujelajahi. Kini giliran Papua New Guinea (Papua Nugini atau PNG) yang kupilih. Sisanya tinggal Australia dan Kepulauan Palau yang belum kudatangi. Sebelumnya aku pernah 2X gagal ke Australia karena visaku ditolak.

Ternyata kalau ke Papua Nugini PNG harus pakai visa, kecuali cuma sampai border RI-PNG aja tanpa visa. Informasi yang kudapat masuk kesana free visa alias gratis. Warga lokal pembawa kartu merah yang berijin bisa keluar masuk tapi tidak jauh dari perbatasan untuk berbelanja pada hari pasar (Sabtu). Fee visa online 50US$ yang bisa terbit kurang dari 48 jam. E-visa ini berlaku 60 hari single entry sejak tanggal dikeluarkan.

Meski kami bawa paspor tapi kalau ke Kota Vanimo harus pakai visa. Akhirnya aku pakai jasa teman² yang biasa open trip masuk ke Vanimo. Karena informasi tentang visa yang kurang valid dan waktu di Jayapura yang sempit, aku harus gerak cepat supaya bisa ke PNG. Akhirnya apply e-visa oke. Kami ber-lima ke Perbatasan RI-PNG.

Aku masuk ke PNG lewat perbatasan Jayapura yakni Skouw Distrik Muara Tami - Wotung. Dari situ kami akan ke Vanimo (1.5 jam), Provinsi Sandaun, Papua Nugini. Vanimo adalah kota yang cantik dan mempesona dengan suasana yang masih natural. Secara geografis, sebenarnya letaknya tidak jauh dari Kota Jayapura, sekitar satu setengah jam saja dengan mobil. Meski begitu aku harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk masuk negara tetangga ini secara legal. Kami kesana pada hari sabtu atau hari pasar yang pasti bakal ramai banyak didatangi oleh masyarakat kedua negara. Tidak ada kendaraan umum dari Jayapura ke Skouw. Yang ada adalah mobil pribadi, onlen (250K) atau saat ini mulai ada minibus dari Entrop ke batas. Ongkosnya 20K sekali jalan.




Tiba di Wutung, mobil diparkir di klinik Skouw dan siap masuk ke Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Skouw untuk dilakukan pemeriksaan keimigrasian. Tampaknya kami ber-lima adalah pelintas pertama menyebrang ke PNG. Tapi mau dikata apa, di sekitar kantor PLBN ada keributan yang dilakukan oleh seorang anak dari Bapak pemilik tanah PNG sekitar perbatasan. Konon orang tuanya adalah pemilik tanah area kantor. Dia berteriak² buka baju dan tubuhnya dilumuri lumpur mondar mandir mengacungkan parang dengan sepeda motor. Kantor pun ditutup sekitar satu jam dan hampir saja kami gagal masuk ke PNG. Tapi ini urusan negara untuk melayani masyarakat kedua negara, sehingga petugas tidak gentar dengan ancaman itu. Akhirnya ntah negosiasi bagaimana, perlintasan imigrasi kedua negara bisa dibuka. Dan kami pun bisa melintas menyerahkan paspor di Imigrasi Indonesia, lantas menuju area netral yang berada di antara gerbang RI dan gerbang PNG. Kemudian masuk ke Imigrasi PNG diperiksa paspor beserta visanya. Dan yang terakhir adalah pemeriksaan barang bawaan oleh petugas custom PNG. Makanan camilanku berupa pisang kepok rebus dan beberapa buah jeruk disita petugas ga boleh dibawa masuk PNG. Tampak masyarakat PNG antri berbondong bondong masuk lewat gerbang besi, satu persatu dipanggil oleh petugas. Kami keluar imigrasi bergegas menuju pangkalan minibus berplat nomor PNG yang ngetem dekat situ.



Perjalanan dilanjutkan dengan minibus selama satu setengah jam menuju Vanimo. Dan langsung ke supermarket sebagai tujuan pertama. Di situ 'shopping' tipis² buat oleh². Bayarnya pake uang Kina yang telah kutukar sebelumnya (1 Kina = 3.700 Rp). Dari supermarket lanjut ke pantai dan bersantai sejenak foto² karena pantainya apik sayang untuk dilewatkan. Lantas dengan minibus sewa kami ke Awawi Water Fall yang berada di luar Kota Vanimo. Bulan lalu Paus Pope mengunjungi Vanimo, otomatis warga seantero PNG & Papua RI berbondong² menyaksikan Paus di lapangan luas yang berdekatan dengan Vanimo Airport. Dari Vanimo kalau ingin ke Ibukota PNG Port Moresby lebih mudah daripada dari Bali. Bandara ini melayani penerbangan ke Port Moresby dengan biaya sekitar 4 jutaan sekali terbang selama 2,5 jam. Lanjut ke tower yang berada di atas bukit. Dari atas sini Kota Vanimo tampak indah. Bandara, kota dan pantai kelihatan semua. Dan yang terakhir adalah ke Kantor Konsulat RI Vanimo. Ini perjalanan yang sangat berkesan bagi kami, ke luar negeri cuma sehari aja.


Hampir sama dengan Papua RI, namun Kota Vanimo di PNG keadaannya kalah jauh dari Kota Jayapura. Keindahan alam PNG masih natural dan masyarakatnya masih banyak yang 'miskin'. Serupa tapi tak sama, itulah bahasa yang tepat untuk menggambarkannya. Sayangnya WNI masuk ke PNG harus pakai visa (US$50). Etnis melanesia Pacific Oceania itu adalah asal usul bangsa PNG bukan Asia apalagi Asia Tenggara. Mereka terbiasa dan fasih berbahasa Inggris Fiji dan bahasa Papua. Belakangan, usaha di PNG seperti supermarket dan usaha lainnya banyak didominasi oleh orang² asal China,

Vanimo memiliki beberapa hotel di antara Sandaun Beach Hotel (depan Konsulat RI) atau Vanimo Beach Hotel. Rate hotel disini rata² 500 Kina per malam yang berarti sekitar 1.8 Jt. Begitu juga dengan paket internet mahal banget, bisa 200K per hari. Setiap masuk wilayah PNG kita akan dapat SMS dari operator yang memberi informasi tentang biaya selular. Waktu PNG adalah WIB +3 sehingga imigrasi perbatasan tutup pukul 17:00 berarti imigrasi Indonesia di sebelahnya tutup pukul 16:00.




Sebenarnya serem juga ke PNG melihat masyarakatnya banyak yang berbadan besar, rambut keriting gimbal dan suka konsumsi minuman keras bahkan sampai mabuk. Itulah yang menakutkan, bahasanya pun kita tidak mengerti. Aku terus waspada aja sih untuk jaga². Tapi alhamdulillah selama ini oke² aja. Kalau berpapasan senyum aja sambil bilang hai/halo/good morning dll. Di beberapa supermarket banyak dijual produk asal Indonesia seperti mie instant (1.2 Kina), milo sachet, ajinomoto dan harganya lebih mahal. Baju/kemeja made in China atau fanta, coca cola kaleng buatan Australia/Singapore yang harganya 1,5 Kina. Aku pilih beberapa varian tuna kaleng, biskuit dan coklat bulat. Di supermarket yang favorit adalah daging domba dan sosis sehingga sering kehabisan. Taxi beneran (bukan angkot) tersedia mondar mandir di Kota Vanimo sedangkan di Jayapura ga ada. Di perbatasan wilayah Indonesia ada orang PNG yang jualan noken, sosis dan pisang goreng. Bayarnya bisa pakai Rupiah atau Kina. Kalau bayar pakai Rupiah harganya lebih mahal, lebih baik bayar pakai Kina lebih murah karena rate nya sedang turun. Jadi kita harus pinter² berbelanja agar bisa lebih murah.


Setelah balik dari PNG kami stay beberapa hari lagi di Jayapura sekalian eksplor mana² yang belum sambil nunggu datangnya kapal menuju Ambon. Eksplor berikutnya ke Pemancar TVRI di daerah Polimak. Dari atas sini Kota Jayapura kelihatan jelas semuanya berada cekungan raksasa. Kayo Pulau dan Pulau Kosong tampak kecil dilihat dari atas. Pukul 12 KM Dobonsolo sudah merapat di pelabuhan, kapal kelihatan jelas dari kamar hotel. Sesuai jadwal masih ada 5 jam lagi kapal bertolak menuju Serui, Sorong lalu Ambon. Kami ke pelabuhan ga buru² amat nanti aja pada last time karena dari hotel ke pelabuhan jaraknya hanya seratusan meter saja.


JAYAPURA - AMBON

Gunung Dobonsolo dipakai juga sebagai nama salah satu kapal milik PELNI ini. Dobonsolo dikenal sebagai nama Dafonsoro atau Gunung Cyclops yakni sebuah gunung yang terletak di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Letaknya sekitar 30 kilometeran dari Kota Jayapura ke arah barat. KM Dobonsolo berlayar selama 3 hari 3 malam singgah di Serui & Sorong, akhirnya kapal merapat di Pelabuhan Ambon. Pelayaran yang cukup lama tidak begitu terasa karena ada teman ngobrol teman² sekamar.



Ambon adalah destinasi berikutnya setelah Papua. Kebetulan istriku belum pernah ke Ambon. Makanya aku ajak dia ke sana biar tau semua wilayah Nusantara. Di Ambon, kami stay di hotel yang dulu pernah tinggal di situ pas eksplor Maluku. Nama hotelnya Cahaya. Letaknya strategis ke-mana².



Muter² di Kampung Jalan Baru, Masjid Raya Al Fatah, Pasar Mardika dan makan ikan di Jl. Yos Sudarso. Semua dilakukan cukup jalan kaki. Pasar Mardika sudah terbangun bagus. Tapi masih banyak penjual yang berjualan di sepanjang jalan sehingga semrawut bikin macet. Ongkos angkot dalam kota rata² 5K kecuali ke luar batas Kota Ambon berbeda² sebut saja misalnya ke Tulehu (15K) atau ke Liang (25K). Dari Tulehu bisa naik speed atau kapal cepat seperti ke Haria Saparua, ke Kailolo Haruku, ke Seram atau ke Bandaneira. Kalau dari Liang bisa naik ferry tujuan Kairatu di Pulau Seram.


KAILOLO PULAU HARUKU

Pagi² aku ke Tulehu pake angkot yang naiknya dari Pasar Mardika (15K). Sampai di tujuan ada beberapa penumpang yang turun di terminal kecil dekat pangkalan speed ke Kailolo. Cuma nunggu sebentar, setelah itu aku dipersilahkan naik ke speed berjalan kaki celana diangkat kuatir basah. Gelombang ombak di pagi itu kecil sekali sehingga speed melaju lancar sampai Kailolo. Speed hanya perlu 25 menit menyebrangi selat untuk sampai ke seberang. Waktu itu aku bayar ongkos 30K karena penumpangnya cuma 7 orang. Besarnya ongkos tergantung jumlah maksimum sebuah speed. Kalau jumlahnya 10 orang termasuk pengemudi bayarnya bisa 25K dan kalau kurang dari 5 orang bisa² bayarnya 50K. Ongkos penumpang dipakai untuk operasional sana sini seperti BBM, makan, bayar asisten dan biaya merapat di pelabuhan yang ada paguyubannya.



Aku jalan kaki dari Pelabuhan Waeriang ke Masjid Jami Nandatu Sahapory Negeri Kailolo melewati jalan tengah² pekuburan. Kebetulan istriku absen ke Kailolo karena flu, dia mau istirahat dulu di kamar. Mengabadikan Pulau Haruku dan berbincang ngobrol tukar pengalaman dengan warga setempat sangat mengasyikan sambil menunggu datangnya waktu Shalat Dhuhur.

Ba'da Dhuhur aku balik badan ke Pelabuhan Waeriang menuju Tulehu trus ke Ambon. Di Waeriang aku ga nunggu lama karena penumpang speed sudah cukup. Tepat pukul 13.30 speed didorong ke tengah melewati speed² lain untuk meluncur ke Tulehu. Speed bermesin tunggal tempel Yamaha kapasitas 40 PK membawa 10 orang termasuk pengemudi. Siang itu gelombang laut lumayan ada sehingga speed sering terhentak jedak jeduk. Gangguan mesin juga sempat kami alami karena kipas kapal tersangkut sampah. Terpaksa speed berhenti di tengah laut dan mesin dimatikan untuk membersihkan sampah yang tersangkut. Alhamdulillah speed tiba di Tulehu tepat pukul 13.55. Berarti menyebrangnya cuma 25 menitan. Kali ini bayarnya cuma 25K karena penumpangnya full.


PANTAI WAINITU

Esoknya bersama istri kami ke Pantai Wainitu dengan angkot, dari jalan raya harus traking lagi sampai ke pantai. Suasananya sepi tenang karena hari itu masih pagi dan bukan weekend. Di Wainitu aku gerak²an badan sambil menikmati pantainya yang tenang. Tidak lupa mengabadikan sudut² keindahan Wainitu. Pulangnya jalan kaki motong jalan melewati lorong² kampung sampai dapat jalan raya ke arah Masjid Al Fatah.



Hampir semua sudut wilayah Pulau Ambon bisa dijangkau angkutan kota. Hal ini memudahkan masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Adanya moda transportasi onlen menambah kemudahan warga ke mana². Keberadaannya bisa seiring sejalan dalam mendukung dunia usaha di Ambon. Warna warni angkot bersliweran di dalam dan di luar kota. Kalau mereka sedang bertemu di satu titik pertemuan yakni Terminal Pasar Mardika, ini yang bikin macet. Semua angkot keluar masuk sambil sopirnya berteriak² mencari penumpang. Dulu, Ambon Plaza 'Amplaz' sangat terkenal sebagai mall terbesar di Kota Ambon. Namun sekarang sudah bergeser, Amplaz meredup dan diganti oleh yang lebih modern di tempat lain yaitu Maluku City Mall atau 'MCM'. Supermarket besar ada di situ, kulineran, fashion, entertainment, ATM dan pusat kecantikan tersedia di MCM.


PANTAI HUNIMUA & TANJUNG NUSANIWE

Hari berikutnya, di awal pagi di Ambon aku sewa sepeda motor pada anak hotel. Alhamdulillah dia oke dan kebetulan motornya keluaran baru. Kau tau yang kumau, yakni motor manual bukan matic. Maklum kalau pakai matic aku belum lihai banget dibanding kalau pakai manual. Ok yuk meluncur ke Liang 30 km arah Timur Laut Pulau Ambon. Di sana ada pantai yang bersih dan indah, namanya Pantai Hunimua. Disitu bisa mendayung perahu, berenang atau snorkeling. Pengunjungnya cuma segelintir karena hari kerja bukan weekend. Selain kami berdua, ada bule² yang sudah duluan berendam di laut sambil main polo air. Kami pelan² menikmati detail pantai ini. Mula² beli kelapa muda (15K). Setelah itu mengantar & mengajak istri mendayung perahu mondar mandir di sepanjang bibir pantai. Pantai ini berdekatan dengan Pelabuhan Penyebrangan Ferry Hunimua dengan destinasi Kairatu Pulau Seram. Tampak di kejauhan ada ferry yang datang & ada yang pergi melintas di hadapan kami. Snorkeling di sini sangat asyik karena airnya tenang dan bening. Meski jarak dari Kota Ambon lumayan jauh hampir 30 km, dengan sepeda motor kami berjalan santai ga buru² baik pergi maupun pulangnya.



Setelah puas menikmati Pantai Hunimua kami balik melewati Tulehu dan mampir makan rujak di Pantai Natsepa. Sewaktu pagi melewati Natsepa semua kedai rujak masih tutup. Alhamdulillah pas siang aku lewat, warung rujak sudah buka semua. Di Natsepa cuacanya cerah ga hujan sehingga kami bisa menikmati rujak yang enak, istirahat sambil memandang Pantai Natsepa yang bersih. Kami tidak balik ke Kota Ambon tapi cuma lewat aja. Sepeda motor aku arahkan menuju ke Latuhalat yang berada di ujung selatan bagian barat Pulau Ambon. Sebenarnya ke Tanjung Nusaniwe paling keren kalau pas sunset. Tapi sayangnya aku ke sana jauh sebelum matahari terbenam karena sepeda motor sewaan harus aku kembalikan pada jam 4 sore. Meski jaraknya lumayan jauh sekitar 15 km luar Kota Ambon, alhamdulillah pergi & pulang dari Nusaniwe berjalan lancar tanpa lihat GMaps. Meluncurnya hanya mengandalkan insting aja seolah otomatis ada yang mengarahkan sepeda motor sampai ke sana.


Setiap pagi aku berjalan kaki ke sekitar hotel, tiap hari gonta ganti lokasinya ke arah kiri, kanan dan lainnya. Habis jalan kaki langsung sarapan tipis² ala kadarnya. Aku sukanya sarapan makan beberapa telur rebus, pisang dan ngopi tanpa gula. Kami juga sering ke Pasar Mardika. Perginya jalan kaki dan pulang naik angkot (5K). Blusukan seperti ke Mardika itu pekerjaan yang paling kusukai melihat langsung aktifitas masyarakat, berinteraksi langsung, tau harga dan bisa membeli ini itu dengan harga yang terjangkau. Saat itu buah kenari lagi susah dicari, maklum belum panen. Karena lagi langka otomatis di pasar cuma ada secuil doang. Itu pun harganya lumayan mahal. Bukan kenari aja, uang logam rupiah juga langka bahkan hampir ga ada (bukan musiman). Boleh dikatakan uang yang paling kecil di Ambon adalah uang kertas seribuan, sedangkan uang logam 100, 200, 500 atau 1000 hampir ga ada.

Selama perjalanan ke Papua dan Maluku banyak sekali pelajaran yang kudapat yang ga bisa kudapat dari bangku sekolahan. Aku banyak belajar di jalanan dan belajar dari alam. Bertemu saudara² dari berbagai daerah dan saudara² dari tanah Jawa yang sudah merantau lama beranak pinak puluhan tahun di Indonesia Timur. Mereka semua hidup mandiri dan merasa bersyukur bisa hidup membaur di tempat yang jauh dari sanak saudara.


BALIK KE SURABAYA 

Beberapa hari yang lalu aku beli tiket kapal Pelni onlen. Kali ini pilih KM Doro Londa dari Ambon menuju Surabaya. Transitnya di Namlea, Bau Bau dan Makassar. Nama kapal ini juga diambil dari nama gunung yang punya legenda. Ceritanya Doro Londa adalah sebuah gugusan pegunungan yang membentang dari barat Kelurahan Sambi Nae sampai hingga Batas Kota/Kabupaten Bima. Nama Doro Londa sangat melekat dalam tradisi masyarakat dengan Ncuhi Londa dan permaisuri yang menjelma menjadi kerbau untuk mengabdi kepada warga desa. Begitulah asal usulnya yang menjadi simbol kuat kesetiaan dan pengabdian terhadap nilai-nilai budaya turun-temurun masyarakat Bima.




Ada hal² yang perlu diperhatikan kalau naik kapal laut. Bawa barang seperlunya aja walaupun barang bawaan bisa dibawa jauh lebih banyak dibanding naik pesawat. Bawa makanan yang cukup karena makanan di atas kapal itu mahal bisa 3X lipat harganya. Contohnya, mie cup 15K, Kopi seduh 15K, Nasi + 1 lauk 35K atau sebungkus rokok harganya 40K. Hati² ngecas HP harus selalu diawasi, begitu juga barang bawaan lainnya seperti dompet & barang berharga lainnya. Tetap olah raga rutin seperti jalan kaki mondar mandir mengelilingi kapal agar tetap bugar. Bersabar & bersyukur biar Allah selalu menambah nikmat pada kita.


Setelah beberapa hari berlayar bersama KM Doro Londa, akhirnya kami tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Lantas dengan kereta api menuju Malang yang tiketnya sudah kupesan onlen beberapa hari sebelumnya. Setelah sampai di rumah berarti selesai semuanya, kami berdua wajib bersyukur dan mengucapkan alhamdulillah telah diberikan rizky yang cukup, bertambah usia dan diberi kenikmatan tiada tara oleh Allah SWT. Cheers sampai jumpa lagi pada kisah² perjalanan kami berikutnya.


I ❤️ Beautiful Indonesia


Copyright@by RUSDI ZULKARNAIN

email : alsatopass@gmail.com


No comments: