BERAMAL LEWAT TULISAN

Saturday 7 October 2017

<<< HABISI INDIA ! >>>




Ini kali kedua aku ke India. Caranya sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah, cuma solo traveling. Kalau sebelumnya berangkat dari Kualalumpur ke New Delhi, lalu menjelajahi sekitaran New Delhi dan Agra. Kini, berangkat dari Bangladesh masuk Kolkata lewat udara. Lantas ke Varanasi, Gorakhpur dan keluar menuju Nepal lewat Border Sonauli.

Akan kuhabisi India !


VISA INDIA

Akhirnya aku memilih eVisa, apply-nya online.
Website aplikasinya :
https://indianvisaonline.gov.in/evisa/tvoa.html
Ikuti setiap step prosesnya dengan teliti. Di meja harus ada : paspor, KK, KTP, Kartu Kredit, pas photo dalam format JPEG dan scan paspor dalam format PDF. Semua itu diperlukan untuk pengisian data pada form aplikasinya.

Pas photo berukuran sama sisi (5x5 cm) latar belakang putih dan scan paspor dalam bentuk landscape maks. 300KB. Biaya eVisa 50 USD plus processing fee atau sekitar Rp. 675 Ribu. Bayarnya pakai Visa atau Master Card.

eVisaku GRANTED (disetujui) hanya sehari saja (24 jam dari 72 jam waktu maksimalnya). eVisa aku print dan kubawa untuk diserahkan di Imigrasi Airport India.

Pembuatannya simple. Namun harus sabar mengikuti langkah-langkahnya hingga selesai. Banyak isian yang harus dilalui seperti data paspor, data keluarga, alamat yang dituju, alamat tempat tinggal, riwayat warga negara dan riwayat kunjungan ke negara lain termasuk ke India plus negara-negara Asia Selatan.

Setelah di acc, lumayan bisa double entry dan bisa stay selama 60 hari.

WELCOME TO KOLKATA

Setelah puas menjelajahi Bangladesh selama 11 hari lalu. Aku terbang ke Kolkata (Calcutta) dengan SpiceJet (7/9) dari Hazrat Shahjalal International Airport (Dhaka-Bangladesh) ke Netaji Subhash Chandra Bose International Airport (Kolkata, Provinsi West Bengal, India). Tiket sengaja kubeli online di Dhaka agar lebih pasti kapan harus meninggalkan Bangladesh.

Sehari sebelum keberangkatan, kulakukan web check in. Ternyata untuk penerbangan internasional tidak bisa web check in. Tapi harus check in langsung di airport.

Supaya ngirit ongkos, aku berangkat lebih awal dari penginapan dengan rickshaw (becak) ke Railgate (20 Taka). Dari situ sambung lagi pake CNG (bajaj) ke airport (200 Taka). Taka adalah mata uang Bangladesh, yang nilainya per 1 Taka setara Rp. 160.


Entah mengapa, proses check in tiketku sedikit lama dan berbelit. Mungkin pegawainya baru. Petugas menanyaiku, ini dan itu. "Beli tiketnya pakai kartu kredit ya ? Coba lihat kartu kreditnya," Kemudian, dia minta no hp di Bangladesh. Ketika aku tunjukin eVisa India, dia malah linglung tanya teman sebelahnya. Masalah bagasi juga begitu.

SpiceJet, ternyata ke Kolkata pakai pesawat propeler (baling-baling), karena terbangnya hanya satu jam saja. Pesawat Bombardier buatan Canada naik turunnya sangat mulus. Kapasitas 78 penumpang, kemampuan jelajah 2.000 km dan kecepatan maksimumnya 666/jam.


Welcome to Kolkata, West Bengal India. Pengurusan eVisa di Bandara sangat simpel. Semuanya berjalan cepat dan lancar. Counter Imigrasi khusus eVisa ada sekitar 10 meja. Pasporku distempel VOA 'Visa On Arrival' dan selembar print eVisa yang kubawa hanya sebagai pegangan aja (tidak dipakai lagi). Bandara Kolkata yang baru, besar dan bersih. Sangat nyaman bagi yang mengunjunginya.


Yang sedikit menyebalkan adalah money changer di airport yang rate-nya sedikit rendah dibanding di kota. Ada potongan pajak GST segala, semacam Ppn 5%. Per 1 Dollar Amerika dihargai 61 Rupee sebelum dipotong pajak. Kalau Prepaid Taxi (taxi bandara) sangat OK. Beli tiket di counter taxi (280 Rupee), naiknya dari pos antrian. Taxi jadul berwarna kuning mengingatkanku tentang film-film India.


SELAYANG PANDANG KOLKATA

Kolkata merupakan kota terbesar ketiga di India. Kota kelahiran Mother Teresa dan kota yang amat penting di masa kolonial Inggris.

Bukan itu saja Kolkata adalah kota kelahiran Rabindranath Tagore yang dikenal sebagai Gurudev. Dia seorang Brahmo Samaj, penyair, seniman, filsuf, dramawan, musikus dan sastrawan Bengali.

Aku menginap di hotel budget, Hotel Bengal di bilangan Park Street yang taripnya 1.000 Rupee. Double bed, AC, TV dan kamar mandi di dalam. Tidak ada kesulitan yang berarti ketika stay di tempat ini. Apalagi pemiliknya adalah Muslim.


Karena di hotel wifi nya kenceng, pembelian paket internet aku tunda sampai lusa. Setelah itu beli kartu Airtel yang 350 Rupee untuk sebulan, sudah termasuk untuk bicara senilai 50 Rupee.

Kalau kemarin perbedaan waktu antara Bangladesh dengan Waktu Indonesia Bagian Barat 'WIB' adalah satu jam. Kini, perbedaan Kolkata dengan WIB, satu setengah jam.

Kolkata dengan Dhaka keadaannya sih hampir sama. Boleh dikatakan setali tiga uang. Terutama kalau berada di kota tuanya. Suasana, cara berpakaian dan aroma hawa udaranya juga ada kemiripannya. Tapi, Kolkata sedikit lebih baik dan sedikit tertata dibanding Dhaka.


Kran air bertebaran di pinggiran jalan untuk segala keperluan. Mandi di situ, ambil air atau mau cuci mobil juga boleh di situ. Karena milik umum, yang lagi mandi setengah bersabun rela berhenti sejenak memberi kesempatan yang lain mengambil air untuk minum.

Tinggal di India khususnya di Kolkata lebih bersahabat terutama bahasa tulisan di tempat umum. Disamping terdapat tulisan Hindi, tulisan Inggrisnya juga ada. Pengaruh kolonial Inggris masih kental membekas hingga kini, terutama soal bahasa, sikap dan wawasan orang India. Soal tulisan berbahasa Inggris ini lebih memudahkan turis. Tidak seperti di Bangladesh. Hanya warga lokal saja yang bisa membacanya.

Setiap hari terutama pagi, aku wajib sarapan sederhana ditemani teh susu yang dinamakan chai. Teh susunya kuminta pakai gelas, ga mau pakai cangkir. Harganya sangat murah. Chai plus kudapan pagi, semuanya tidak sampai 5 Ribu Rupiah. Kalau makan minum cuma 5 ribu, lantas kasih tipsnya berapa ? Di awal pagi hingga petang, warga India biasa antri minum chai. Jika makan di restoran, tradisinya harus memberi tips. Berapapun mereka terima.


Di mana-mana ada pengemis. Mereka muncul hampir di seluruh pelosok negeri. Begitu juga keberadaan hewan peliharaan seperti gukguk 'anjing', di Bangladesh atau India sama, berkeliaran di mana-mana.

Taksinya kebanyakan berwarna kuning, meski ada yang berwarna putih. Taksi uber, di sini legal keberadaannya. Disamping bus kota, rickshaw, subway, trem listrik juga masih beroperasi sebagai moda transportasi Kota Kolkata. Mobil pakai setir kanan, sama seperti di negeri kita.

Jika wisatawan asing ingin membeli tiket kereta api di loket stasiun, agak kesulitan. Oleh sebab itu Kolkata menyediakan tempat khusus melayani penjualan tiket kereta api untuk orang asing. Lokasinya di Fairly place, ada suatu gedung yang dipakai untuk itu. Menuju ke sana bisa pakai bus jurusan Hawrah. Belinya, siapkan paspor, copy paspor dan isi form data perjalanan kereta yang kita mau. Pesen, bayar dan terima tiketnya saat itu juga.


Kalau soal makan dan transportasi bus biayanya sangat murah. Keduanya tidak ada yang bulat angkanya. Misalnya, ongkos bus ada yang 8 atau 9 Rupee (1600 atau 1800). Padahal, bulatkan aja misalnya 5 atau 10 Rupee, kan lebih gampang. Akh .... sudahlah.

Suatu pagi aku ke Victoria Memorial Park. Ke sananya sih jalan kaki aja, sekitar 4 kiloan. Lantas pulangnya, pakai bus sesuai yang kutahu. Untuk turis masuknya 200 Rupee (tiketnya 10X lipat). Warga lokal tiketnya hanya 20 Rupee.


Tapi luar biasa, ke sini ga bakal rugi. Masa datang jauh-jauh dari Indonesia bayar 40 ribu aja merasa berat ? Bangunannya sangat monumental mirip istana buatan kolonial Inggris. Masuk ke dalam tidak boleh foto-foto. Museum dan galerinya terbilang lengkap untuk memberi gambaran kekuasaan Inggris selama di India. Taman hijau yang luas, patung-patung marmer pemberian hadiah negeri sahabat, patung Victoria, lukisan dan peralatan perang masa lalu juga terdisplay di situ. Burung-burung gagak hitam bebas berkeliaran di sekitaran sini.


Howrah adalah jantungnya Kolkata. Hampir semua bus kota jurusannya ada yang ke Howrah. Di situ terdapat stasiun kereta api besar ke segala jurusan. Dan di situ pula terdapat jembatan besi yang amat tersohor buatan tahun 1935 oleh kolonial Inggris. Howrah bridge namanya.

Hari minggu (10/9), perjalanan kulanjutkan ke Varanasi dengan kereta express Vibuthi Express selama 13 jam. Tiket kubeli di konter khusus turis di Fairly Place seharga 600 Rupee.


Sebelum berangkat letak stasiun ku-survey dulu agar nantinya lebih mudah mendapatkannya. Itu juga karena dari hotel ke Howrah pake bus cuma 8 Rupee atau 1.600 Rupiah. Sebelumnya aku mampir ke makam pejuang kemanusiaan terkenal yang kerap melayani kaum lemah, Mother Teresa.

V A R A N A S I

Ke Howrah Stasiun pakai bus kota. Karena bawa backpack, yang biasa ongkosnya 2 ribuan, kali ini diminta 6 Ribu Rupiah.

Padahal hari itu hari libur, tapi kepadatan dan kemacetannya tetap tidak berkurang. Di atas bus, aku berdiri mulai naik hingga turun.

Udah buru-buru ke Stasiun Howrah dan datang lebih awal, dapat kabar kalau pemberangkatan kereta ditunda hingga besok pagi 05.30.

Mau ga mau harus bermalam di stasiun. Beruntung, ada teman yang juga senasib denganku. Si Ali asal Kashmir Srinagar yang bermaksud hendak ke Delhi. Dia ketinggalan kereta. Terpaksa dia beli tiket lagi untuk besok pagi.


Kami sama-sama nongkrong di Stasiun Howrah sampai pagi. Karena aku bawa backpack agak besar, kami gantian jaga barang jika ada keperluan.

Kereta kelas 2 sleeper, keadaan dan kebersihannya tidak lebih baik dari kereta ekonomi di negeri kita. Di India, pakai kipas angin dan sempit. Kalau mau ke toiletnya, sebaiknya ditahan aja. Tapi, kelebihannya cuma ada tempat tidurnya bersusun tiga.

Kehebohan selalu terjadi selama perjalanan dalam kereta. Seratusan keunikan bisa terjadi di sini. Mulai dari kehebohan para pedagang makanan, prilaku penumpang, barang bawaan atau kekonyolan lain kerap terjadi. Untuk merasakan yang sesungguhnya, ya harus lakukan sendiri, journey seperti aku. Hhe..




Keterlambatan yang luar biasa. Kereta Vibuthi baru masuk Varanasi pada pukul 23.30 tengah malam (seharusnya tiba pukul 18.00). Di dalam dan di luar pelataran Stasiun Kereta Varanasi dipadati calon penumpang yang sudah menunggu sejak lama.

Ga berpikir panjang, aku tidak menolak ajakan sopir bajaj yang menawarkan jasanya mengantarkanku cari makan dan hotel. Semua kupercayakan dia dengan standard ringan yang kuminta. Karena badan sudah capek dan perut cuma diisi seadanya. Aku minta dipesankan makan yang vegetarian dan hostelnya di bawah 1.000 Rupee. Tinggal duduk manis, alhamdulillah semuanya beres diurusnya.

Elvis Guesthouse menjadi jujukanku selama di Varanasi. Ownernya seorang pemuda Muslim bernama Sofyan yang sangat ramah dan siap membantu apa saja yang kuperlukan. Thanks Sofyan.

Tiba-tiba kakiku sakit seperti gejala asam urat di jempol kaki, dengan berat hati perjalanan ke Agra, Fatehpur Sikri, Jaipur dan Jailsalmer terpaksa aku skip dari rencana. Tampaknya, ini gara-gara setiap hari kebanyakan makan biryani dan daging-dagingan. Meski aku skip, tidak mengapa karena beberapa tahun yang lalu aku pernah ke Agra melihat Taj Mahal yang fenomenal itu..

Tempat tinggalku selama di Varanasi tidak jauh dari Gangga. Hanya melewati gang-gang kecil di belakang guesthouse sudah sampai di pinggiran gangga. Bahkan dari lantai paling atas Elvis Guesthouse, Sungai Gangga bisa dilihat dari sini.


Untuk melihat berbagai Ghat kusewa boat biar lebih leluasa mengeksplornya. Kalau jalan di pinggiran Gangga jalannya tidak semuanya tersambung dan perlu naik turun. Mengambil foto pun tidak semuanya dibolehkan. Ada petugas yang menjaga tempat-tempat suci yang tidak boleh difoto.

Maaf, di sekitaran Gangga banyak terjadi scam 'tipu minta uang'. Misalnya, menaikkan tarip boat, meminta tambahan uang setelah deal harga dan berbagai scam lainnya kerap terjadi di sini. Waspadalah... waspadalah...

Penganut Hindu berbondong-bondong datang kemari untuk mengadakan ritual di sekitar Gangga. Ada yang berendam, berdoa  atau menyaksikan saudaranya yang dikremasi di sini.

Air Sungai Gangga tampak bersih tidak ada sampah, terkecuali di dekat bekas festival atau upacara ritual. Sampah tersebut nantinya juga bakal dibersihkan. Mereka bersama-sama tetap menjaga kelestarian sungai suci ini.

Di pinggiran Gangga terdapat banyak temple yang sangat bersejarah. Semuanya berkaitan dengan Agama Hindu. Bukan itu saja, masjid pun banyak di sekitaran pemukiman warga dekat Gangga. Air yang berlimpah berasal dari sungai ini diangkat dan diolah menjadi sumber kebutuhan sehari-hari.

Kalau warga lokal sudah terbiasa hidup bersama sapi yang berkeliaran di jalanan atau di gang-gang sempit lengkap dengan 'ranjaunya' yang bertebaran di mana-mana.

Mau tau surganya silk (sutera) dan kain sarie ?
Varanasilah tempatnya. Hampir setiap warga memiliki industri rumahan kerajinan sutera dan kain sarie. Mereka mempunyai asosiasi pekerja tenun sutera. Hasil produksinya didistribusi secara berjenjang retail atau grosir.



Penganut Hindu dari seluruh dunia berbondong-bondong datang kemari untuk ziarah dan mengadakan ritual. Gangga dan sekitarnya patut dikunjungi. Karena Gangga memiliki nuansa yang berbeda dengan daerah lain. Unik kehidupan dan budaya masyarakatnya. Cobalah datang kemari untuk sekedar refreshing atau menambah wawasan.


GORAKHPUR

Akhirnya aku harus meninggalkan Varanasi menuju Gorakhpur dengan kereta api. Pesan tiketnya di agen online. Harga 440 Rupees plus fee agen 100 Rupees, jadi 540 Rupees. Berangkat pukul 07.45 dan tiba pukul 11.45. Beli tiket hari ini untuk berangkat esok pagi.

Aku tiba Di Gorakhpur setelah menempuh empat jam perjalanan dari Varanasi. Keretanya cepat banget sekali. Setiap stasiun kecil, dia ga berhenti.


Keluar Stasiun, lantas cepat-cepat ambil share jeep menuju Sonauli biar ga kemalaman. Cukup bayar 300 Rupee, dalam 3 jam aku sudah tiba di perbatasan (Border) India - Nepal.

Suasana di Border sangat padat. Antrian truk yang akan masuk ke Nepal panjangnya hingga 15 km. Untuk keluar dari India, aku datangi kantor kecil imigrasi yang berada di sisi kiri jalan raya (sebelum gerbang Indian Border Ends). Sedangkan setelah jalan duapuluh meteran akan ditemui Kantor Imigrasi Nepal Belahiya di sisi kanan jalan.


Cukup puas sembilan hari berada di Kolkata, Varanasi dan sebentar di Gorakhpur. Sebelumnya aku pamitan ke beberapa langganan tempat makanku, kedai buah atau ke para staf Guesthouse. Berat juga berpisah dengan orang-orang yang sudah kukenal baik dan banyak menolong selama di India. Semoga Allah SWT. membalas segala kebaikan mereka. Aamiin.

Sampai di sini kisah perjalananku di India dan sampai bertemu lagi di Nepal.





Copyright©  by RUSDI ZULKARNAIN
Email :  alsatopass@gmail.com


No comments: